Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang. Disahkannya PP oleh Presiden tidak lain karena adanya kewenangan yang telah ditetapkan dalam Konstitusi Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Presiden tidak hanya dalam hal kewenangan eksekutif saja, akan tetapi juga memiliki kewenangan yang bersifat legislatif dan menunjukkan besarnya peran Presiden dalam memproduksi undang-undang.
Salah salah produk PP yang menjadi polemik akhir-akhir ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan yang telah disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Juli lalu. Salah satu poin dalam peraturan pemerintah tersebut adalah penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. Kebijakan tersebut tertuang pada BAB II Upaya Kesehatan pada Bagian
Keempat terkait Kesehatan Reproduksi.
Secara sistematis dari Pasal 100 huruf a, Pasal 101 ayat (1) huruf b, Pasal 103 ayat (1), dan Pasal 103 ayat (4) huruf e jika kita disederhanakan maka bunyi teks tersebut kurang lebih seperti ini “Upaya Kesehatan reproduksi salah satunya dilakukan melalui Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup. Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup yang dimaksud salah satunya yaitu Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja dengan upaya Pelayanan Kesehatan reproduksi denga salah satunya cara yang bisa dilakukan yaitu penyediaan alat kontrasepsiâ€ÂÂ.
Dengan demikian, pertanyaan yang muncul kemudia adalah apakah ketentuan dari beberapa pasal di atas melegalkan alat kontrasepsi anak usia sekolah dan/atau remaja ? Apakah upaya kesehatan yang bertujuan untuk memeliharan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan menyediakan alat kontrasepsi bagi remaja ?. Tentunya hal ini harus dijelaskan oleh pihak pemerintah dan jika dua pertanyaan di atas jawabannya adalah Ya. Maka tentunya ini bukan suatu Upaya Kesehatan, akan tetapi justeru menjadi Upaya Kesesatan yang bisa mengundang bencana moral dan menurungnya kualitas moral generasi penerus bangsa.
Kepala Biro Komunikasi dan Manusia dan Pelayanan Publik Kemenkes RI menyatakan bahwa alat kontrasepsi tersebut tidak ditujukan bagi semua remaja. Tapi untuk mereka yang sudah menikah dengan kondisi tertentu dan berencana menunda kehamilan. Hal ini tentunya akan menjadi suatu masalah tersendiri dari aspek terminologis “Remajaâ€ÂÂ, apakah orang yang sudah menikah masih pantas disebut Remaja.
Dan dilain sisi bagaimana cara memberikan pengawasan kepada mereka yang sudah menikah dan menunda untuk memiliki keturunan. Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat sulit dan justeru akan membuat lebar suatu celah penyalagunaan alat kontrasepsi tersebut.
Regulasi dibuat untuk memberikan perlindungan kesehatan, akan tetapi PP ini justeru telah membuat lubang celah yang cukup besar untuk kemerosotan generasi penerus bangsa. Alasan kesehatan menjadi pertimbangan utama, bukan alasan moral. Sehingga lebih penting mana antara kesehatan dan moral.
Remaja melakukan hubungan badan karena adanya masalah pada moral, pemerintah harus merespon dengan kekuasaan dan kewenangannya membuat regulasi yang bisa memperbaiki moral, bukan malah melegalkan alat kontrasepsi dengan alasan kesehatan dan keamanan.
Jika demikian halnya, apakah hukum masih bisa berfungsi dengan baik. Hukum seakan sudah mengalami perubahan fungsi dari law is a tool of social engineering menjadi law is a tool of political engineering sehingga fungsi hukum juga akan berubah menjadi alat yang mereduksi moral generasi penerus bangsa.
Prodak hukum yang lahir, tidak lepas dari pertimbangan-pertimbangan politik. Konsep hubungan hukum dan politik adalah selalu beriringan. Kedudukan hukum tidak di atas politik, dan begitupun kedudukan politik tidak di atas hukum. Namun pertanyaan yang muncul, benarkah demikian dan apakah konsep itu telah direalisasikan ?
Jika kita bertanya secara realistis, terkait hubungan hukum dan politik, maka kita dapat melihat pandangan Mac Iver yang membedakan dua jenis hukum. Pertama, hukum yang berada di bawah pengaruh politik; dan kedua, hukum yang berada di atas politik. yang berada di atas politik, hanya konstitusi, untuk sisanya semua berada di bawah politik. Substansi politik yang bijak atau tidak bijak, tergantung pesanan politik, yang tidak bisa dipungkiri masih ada di negara kita tercinta.
Prof. Satjipto Rahardjo perna menyatakan bahwa “orang terkadang mengumpamakan hukum itu seperti sebuah gerobak, yang dapat dimuati berbagai barangâ€ÂÂ. Perumpamaan ini, seakan ingin menjelaskan bahwa substansi dalam peraturan perundang-undangan bisa jadi memuat kepentingan-kepentingan para penguasan dan pengusaha untuk kepentingan ekonomi dan politiknya.
Orang terkadang menyatakan bahwa, hukum itu hanya netral di atas kertas, tetapi dalam proses penegakannya sarat dengan muatan kepentingan politik orang-orang tertentu. Dari perumpamaan ini, tidak mengherankan jika ada prodak hukum yang lahir dari proses legislasi di DPR tidak sepenuhnya pro kepada kepentingan bangsa dan Negara, akan tetapi tidak menutur kemungkinan ada muatan kepentingan para pengusaha. Termasuk juga Peraturan Pemerintah tidak menutup kemungkinan juga terkontaminasi dengan kepentingan penguasa dan pengusaha.
Dalam hubungan hukum dan moral, terdapat prinsip hukum non scripta sed nata lex yang mengandung makna bahwa sesuatu yang tidak tertulis, namun secara moral harus tetap diperhatikan oleh hukum, sehingga moral dan etika tidak bisa dipisahkan secara tegas dengan hukum.
Prinsip hukum ini tentunya bukan hanya dalam konteks penerapan hukum, akan tetapi juga pada konteks perumusan norma dalam peraturan itu sendiri. Maka upaya yang seharunya dilakukan oleh pemerintah adalah menanamkan rasa malu, bukan malah sebaliknya memudarkan rasa malu. Dalam Islam pun mengajarkan bahwa, rasa malu termasuk sebagian dari iman seseorang.
Rasa malu akan menjadi benteng untuk pertahanan moral. Regulasi yang dibuat oleh pemerintah merupakan produk rumusan kebijakan pemerintah, yang lahir daru rumusan pertimbangan dari berbagai sisi, baik dari pertimbangan kesehatan, psikologi, sosiologis, agama, dan hukum.
Tidak ada ketentuan yang menjelaskan bahwa aitem pertimbangan mana yang harus didahulukan, akan tetapi asas manfaat harus selalu mengiringi substansi hukum itu sendiri. Hubungan hukum dan moral, bukan hanya dalam konteks penegakan hukum, akan tetapi juga pada konteks perumusan kebijakan publik dalam hal ini regulasi yang dibuat oleh pemerintah, apakah menjaga moral atau meredupsi nilai-nilai moral itu sendiri.
Penulis: Nasrullah,SH.,MH (Akademisi)