Peristiwa tragis pada 21 September 2024, saat Kantor Bupati Pohuwato terbakar, bukan hanya sekadar musibah kebakaran biasa, tetapi merupakan dampak dari ketegangan sosial yang sudah lama membara di tengah masyarakat, terutama Masyarakat Penambang Pohuwato.
Kebakaran ini dipicu oleh aksi protes keras yang dilakukan oleh para penambang lokal yang merasa hak-haknya terancam oleh kehadiran perusahaan tambang besar. Aksi massa yang berujung pada peristiwa tersebut mencerminkan konflik mendalam antara masyarakat lokal dan pihak perusahaan.
Akar dari permasalahan ini berawal dari masuknya perusahaan tambang besar yang memperoleh izin operasi dari pemerintah daerah. Dan kemudian perusahaan mulai melebarkan wilayah konsensus perusahaan sampai ke wilayah yang dikelolapenambang lokal turun temurun .
Alih-alih ingin memberikan kompensasi atas wilayah penambang lokal yang akan dikelola perusahaan dengan program tali asih, para penambang justru diperhadapkan dengan kenyataan pahit pembayaran yang tak sesuai.
Hal ini dinilai oleh masyarakat penambang lokal sebagai bentuk ketidakadilan, karena perusahaan tersebut dianggap telah melanggar batas wilayah penambangan tradisional yang selama ini dikelola oleh masyarakat dan sudah tidak menepati janji pembayaran yang telah di sepakati.
Tidak hanya itu, perusahaan juga memblokade akses penambang lokal ke wilayah pertambangan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Hal inilah yang memicu kemarahan besar di kalangan masyarakat Pohuwato, yang merasa bahwa tanah mereka dirampas oleh kepentingan korporasi.
Masyarakat lokal telah berulang kali menyuarakan tuntutan mereka kepada pemerintah untuk mencabut izin perusahaan tambang tersebut, namun hingga kebakaran Kantor Bupati terjadi, aspirasi mereka tampaknya belum mendapat perhatian serius.
Situasi ini memperlihatkan adanya kegagalan komunikasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, yang pada akhirnya berujung pada aksi destruktif sebagai bentuk frustrasi dari masyarakat penambang.
Terbakarnya Kantor Bupati Pohuwato seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dalam mengambil langkah tegas dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Pemerintah daerah tidak bisa membiarkan ketegangan antara masyarakat dan perusahaan tambang berlarut-larut tanpa solusi yang konkret. Konflik semacam ini, jika tidak ditangani dengan baik, berpotensi menimbulkan kerusuhan yang lebih besar dan merusak tatanan sosial yang ada.
Transparansi dalam pemberian izin tambang juga menjadi pertanyaan besar. Apakah izin yang diberikan kepada perusahaan tambang sudah melalui kajian yang melibatkan aspirasi masyarakat setempat? Apakah dampak lingkungan dan sosial telah dipertimbangkan secara matang? Pemerintah harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara terbuka, agar masyarakat tidak merasa dikhianati oleh pemerintah yang seharusnya melindungi kepentingan mereka.
Perlu diingat bahwa penambang lokal bukan sekadar pencari nafkah, mereka adalah bagian integral dari masyarakat Pohuwato yang telah bergantung pada sumber daya tambang selama bertahun-tahun. Ketika akses mereka ke wilayah tambang diblokade, itu sama saja dengan memutus mata pencaharian mereka.
Kondisi ini semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat yang pada dasarnya sudah rentan. Maka, tuntutan mereka untuk mencabut izin perusahaan tambang tidak bisa dianggap sepele.
Selain itu, kejadian ini juga menjadi peringatan akan bahaya dari ketimpangan pengelolaan sumber daya alam di Pohuwato dan mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Tanpa adanya regulasi yang adil dan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal, konflik semacam ini akan terus berulang, menimbulkan kerugian yang tidak hanya bersifat ekonomi tetapi juga sosial dan budaya.
Masyarakat Pohuwato menuntut keadilan, dan suara mereka tidak bisa diabaikan. Tanggung jawab pemerintah adalah menengahi konflik ini dengan adil dan mengupayakan penyelesaian yang bisa diterima oleh semua pihak.
Salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan melakukan dialog terbuka antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan tambang. Pemerintah harus menjadi fasilitator yang netral, yang mendengarkan dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentingan korporasi.
Namun, terlepas dari bentuk protes yang dilakukan, kita juga harus ingat bahwa aksi kekerasan atau penghancuran fasilitas publik, seperti yang terjadi di Kantor Bupati, bukanlah solusi yang tepat. Kekerasan hanya akan memperkeruh keadaan dan berpotensi merugikan masyarakat itu sendiri. Meski masyarakat merasa frustrasi dan marah, saluran dialog dan diplomasi harus tetap diutamakan sebagai jalan keluar dari konflik.