Oleh: Parmin Ishak – Dosen FEB UIGU
Polemik yang belakangan mencuat antara Pemerintah Daerah yang ada di Provinsi Gorontalo dan Bank SulutGo (BSG) telah menyingkap kenyataan pahit dalam pengelolaan aset bersama daerah. Ketika representasi pemegang saham minoritas tidak diakomodasi dalam struktur direksi, muncul rasa kecewa yang berujung pada pernyataan tegas: Gorontalo siap menarik sahamnya dari BSG dan membentuk bank sendiri. Wacana ini tentu menarik sekaligus menantang.
Di satu sisi, ini mencerminkan semangat kemandirian fiskal dan otonomi ekonomi. Namun di sisi lain, kita tidak boleh melupakan bahwa mendirikan bank bukan hanya soal kebanggaan, tetapi soal kapabilitas, efisiensi, dan keberlanjutan.
Secara hukum, pendirian bank daerah memang dimungkinkan. Namun tantangannya terletak pada modal minimum Rp3 triliun yang harus dipenuhi secara bertahap sesuai ketentuan OJK. Ini bukan jumlah yang ringan bagi provinsi dengan PAD di kisaran Rp1 triliun. Tanpa skema pendanaan yang kuat dan komitmen jangka panjang, rencana ini berisiko menjadi beban fiskal yang berat dan berkepanjangan.
Tak hanya itu, jika ditilik dari aspek pasar dan potensi nasabah, Gorontalo menghadapi keterbatasan struktural. Dengan jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa, dan hanya sekitar 40–50% persen yang aktif secara ekonomi, maka potensi nasabah bank maksimal berada di kisaran 500.000–600.000 orang. Ini belum termasuk tantangan rendahnya literasi keuangan dan daya beli masyarakat. Sementara itu, pasar jasa keuangan di Gorontalo sudah didominasi oleh bank nasional dan layanan keuangan digital yang jauh lebih cepat dan efisien.
Dalam kondisi tersebut, bank baru akan menghadapi kesulitan besar dalam mencapai skala ekonomi dan titik impas (break-even point). Sementara biaya pembangunan infrastruktur digital, perekrutan SDM profesional, serta edukasi publik sangat tinggi, margin keuntungan justru akan rendah dalam beberapa tahun pertama. Ini berarti, bank baru berpotensi menjadi beban APBD ketimbang sumber PAD baru.
Di sisi lain, beberapa daerah bahkan telah menarik Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) mereka dari BSG sebagai bentuk tekanan finansial terhadap manajemen. Namun yang menarik, sebagian dari daerah ini tetap mempertahankan kepemilikan sahamnya di bank. Secara hukum itu sah, tetapi secara ekonomi dan tata kelola, hal ini menciptakan anomali.
Menarik RKUD berarti bank kehilangan likuiditas utama, dan pendapatan bunga menurun. Efeknya, kinerja bank bisa tertekan, laba menurun, dan dividen yang dibagikan ke pemegang saham pun ikut berkurang termasuk ke daerah yang menarik RKUD-nya sendiri. Di saat yang sama, daerah itu juga kehilangan posisi tawar sebagai pengguna aktif jasa bank, meski masih tercatat sebagai pemilik.
Secara internal, ini menciptakan jarak antara peran sebagai pemilik dan sebagai mitra strategis. Bank mungkin tidak lagi memprioritaskan daerah tersebut dalam kebijakan CSR, pengembangan jaringan layanan, hingga program kredit. Artinya, daerah tetap jadi pemilik, tapi makin tidak relevan dalam arah kebijakan operasional bank. menarik RKUD tapi tetap memegang saham adalah kebijakan yang mengandung kontradiksi.
Ini ibarat meninggalkan ladang tapi berharap panen tetap datang. Jika tekanan ingin diberikan, maka lakukan dengan konsisten dan akuntabel. Tetapi jika masih percaya pada potensi bank daerah, seharusnya komitmen dijaga secara utuh baik sebagai pemilik, maupun sebagai pengguna utama layanan.
Kebijakan setengah hati justru bisa merugikan dua kali: bank kehilangan kekuatan operasional, daerah kehilangan pengaruh dan potensi dividen. Lebih buruk lagi, publik bisa melihat daerah sebagai aktor yang tidak konsisten dalam mengelola investasi publik.
Pendirian bank daerah atau kebijakan keuangan daerah lainnya harus dijalankan bukan karena tekanan politik, tetapi karena pertimbangan rasional dan jangka panjang. Yang dibutuhkan bukan manuver, tapi langkah strategis yang benar-benar membela kepentingan rakyat secara nyata, efisien, dan berkelanjutan.