OPINI – Konflik GAZA dengan peningkatan eskalasi serangan Tentara Zionis Israel pada Pertempuran antara Hamas dan Zionis Israel di Gaza serta sebagian wilayah di Tanah Palestina semakin meningkat pasca memasuki bulan kedua. Ditengah kengerian akan kondisi mencekam sebuah medan pertempuran, kondisi tersebut juga mempertontonkan ketidak seimbangan yang mencerminkan sebuah semangat untuk lepas dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung lama dari generasi sebelumnya.
Layaknya sebuah medan konflik, medan peperangan pun (yang dianggap sebagai upaya melawan penjajahan) sangat sulit untuk mengontrol pemberlakukan kaidah dan prinsip hukum humaniter yang memiliki dua bagian besar, yakni pertama; berkaitan dengan Ketentuan yang mengatur tentang cara/pelaksanaan permusuhan (conduct of hostilities) yang meliputi ketentuan yang mengatur alat/sarana (means) dan cara/metode (methods) berperang, sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1907, dan kedua, berisi ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang (protection of war victims). Hal tersebut terutama diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 yang lazim disebut dengan Hukum Jenewa.
Seolah menjadi puncak, agresi militer Zionis Israel ke tanah Palestina telah berlangsung dan memasuki bulan kedua, dengan kehancuran yang luar biasa, tanpa terkecuali fasilitas yang jauh dari nuansa kemiliteran dan pertahanan, seperti rumah penduduk sipil, rumah sakit, rumah ibadah, bahkan fasilitas kemanusiaan yang di bangun oleh PBB. Saat ini, memasuki hari ke 43, jumlah korban tewas akibat perang yang sedang berlangsung menyentuh angka 12 ribu korban jiwa di pihak palestina sejak pada 7 Oktober 2023, yang sebagain besar diantaranya adalah
penduduk sipil bahkan anak-anak yang tak berdosa.
Sebagaimana pengamat menilai Perang saat ini merupakan konflik terbesar sejak pengusiran massal sekitar sejuta warga Arab Palestina dari tanah mereka pasca pendirian negara zionis Israel di tanah Palestina, yang dikenal sebagai Peristiwa Nakba (bencana), masih menjadi kenangan yang sangat menyakitkan bagi masyarakat Palestina.
PENJAJAHAN oleh zionis israel, dengan serangan-serangan tak berimbang terhadap gaza di klaim sebagai upaya pembelaan diri, atas serangan yang dilakukan oleh pejuang Hamas, namun bagi Hamas upaya apuan dilakukan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan untuk lepas dari kungkungan pemerintahan zionis israel atas penjajahan yang berlangsung sejak Zionis menyatakan kemerdekaannya secara sepihak di tanah palestina Pada 14 Mei Tahun 1948, bahkan konflik ini telah terjadi lebih dari 100 tahun, jika mengacu pada terbitnya surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour, yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina†yang dikenal dengan Deklarasi Balfour, yang kemudian memicu penolakan itu dilakukan secara masif oleh negara-negara arab.
Pada mulanya, pasca Deklarasi Balfour Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berupaya untuk membagi Palestina pada tahun 1947 menjadi negara Yahudi dan negara Arab, namun penolakan demi penolakan terjadi bahkan menjadi sebab pecahnya perang enam hari antara Zionis Israel dan beberapa negara arab, yang dikenal dengan perang enam hari dan berlanjut pada pertempuran Yom Kippur dalam upaya untuk merebut kembali wilayah yang diambil Israel selama konflik singkat pada tahun 1967 tersebut.
GERAKAN PERJUANGAN bersenjata bangsa Palestina atas penjajahan Zionis Israel yang dikomandoi oleh Hamas, merupakan konsistensi terhadap perlawanan pendudukan Zionis israel yang pada terkahir desas desus perang Proxy akan terjadi dengan adanya dukungan dari beberapa aliansi Gerakan bersenjata yang mendominasi dibeberapa negara tetangga. Merujuk pada Sejarah perlawanan terhadap pendudukan Zionis oleh negara tetangga dalam hal ini negara arab bahkan pernah di deklarasikan oleh negara-negara arab yang menjadi tetangga
Palestina dalam kesepakatan yang disebut dengan “Resolusi Khartoumâ€ÂÂ.
Resolusi Khartoum adalah sebuah pertemuan antara 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 setelah terjadinya Perang Enam Hari. Konferensi tersebut secara spesifik membicarakan tentang Israel yang dihadiri di Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan sebagai tuan rumah. Hal ini akan dilakukan dalam kerangka prinsip-prinsip utama yang dianut negara-negara Arab, yaitu :
1) Tidak berdamai dengan Israel, 2) Tidak mengakui Israel, 3) Tidak melakukan negosiasi dengan Israel, dan menegaskan hak-hak rakyat Palestina di negaranya sendiri, yang dikenal dengan istilah “Tiga tidak Untuk Arab-Israelâ€ÂÂ.
PENGHIANTAN, Sayangnya saat ini resolusi Khartoum mulai ditinggalkan bahkan dikhianati oleh para pencetusnya. Banyak negara Arab melanggar isi resolusi. Mereka dengan sengaja, terbuka atau tertutup melakukan pertemuan dengan Israel dan sekutunya Amerika Serikat.
Mereka juga membuka hubungan diplomasi dengan negara Zionis tersebut, meninggalkan Rakyat Palestina berjuang tak berdaya dalam penjara Terbesar di dunia, disisi lain, pemerintahan Zionis Israel dengan terang- terangan mempublis dukungan penuh dari Negara adidaya Amerika Serikat, dan dunia seolah tak berdaya atas penjajahan termasuk Negara- negara arab yang dahulu bersama- sama menentang deklarasi kemerdekaan sepihak dan pendudukan dalam wujud penjajahan atas rakyat Palestina, dan atas penghiantan tersebut Pemerintahan Zionis Israel menjadi kuat bahkan sikapnya mampu mementahkan dan menolak secara langsung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berisi seruan â€ÂÂjeda kemanusiaan yang mendesak dan diperpanjang di Gaza†yang disepakati oleh mayoritas negara anggota dewan keamanan PBB.
Terakhir, respon nagara-negara Arab yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Negara Islam (OKI), dalam isu yang berkembang, beberapa negara mengusulkan untuk memberikan sanksi dan tekanan di bidang pasokan bahan bakar, dalam bentuk embargo, mengingat beberapa negara teluk merupakan penghasil dan penyuplai minyak terbesar Tel Aviv, dengan harapan embargo ini dapat menghambat atau bahkan menjadi pukulan telak bagi Zionis ditengah upayanya untuk melakukan perluasan serangan ke wilayah Gaza, namun usulan ini ditolak oleh 6 negara teluk dan tidak terwujud dalam bentuk kesepakatan, dengan alasan ekonomi dan hubungan diplomatik. Bersambung…
Penulis : Haritsa, SH.,MH
Jabatan : Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unisan Gorontalo