Penulis : Nasrullah, SH,MH (Akademisi)
Perhelatan pesta demokrasi, Pemilu 2024 tersisa kurang lebih satu bulan ke depan. Tak hanya pemilihan presiden dan wakil presiden, masyarakat juga memilih calon anggota legislatif tingkat DPR, DPD dan DPRD tingkat provinsi serta kabupaten/ kota yang bakal digelar 14 Februari 2024 mendatang. Para peserta mempersiapkan berbagai starategi kampanye agar bisa merai jabatan politik tersebut. Yang terpenting dalam perhelatan pesta demokrasi nanti yaitu terwujudnya proses pemilihan umum tanpa dicederai dengan pelanggaran-pelanggaran pemilu, salah satunya adalah Politik Uang.
Ditengah sulitnya masalah ekonomi, sepertinya akan berdampak pada potensi terjadinya tindak pidana politik uang pada pesta demokrasi yang akan datang. Kurang lebih sebulan setelah pesta demokrasi, kita akan menghadapi Bulan Suci Ramadan. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengharapan masyarakat sangat besar sekali untuk mendapatkan berkah pesta demokrasi di pemilu yang akan datang !!!, dan tidak menutup kemungkinan akan ada yang bermain di dua kaki atau dua tangan.
Mengabaikan suara Tuhan
Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Awal mulanya, istilah ini lebih dikenal dalam dunia peradilan. Para hakim dianggap sebagai wakil tuhan di muka bumi. Oleh karena itu keputusan hakim harus mencerminkan keadilan. Agar keputusan mendekati keadilan yang sesungguhnya, maka para hakim harus memahami benar suara rakyat. Namun seiring dengan perkembangannya, istilah suara rakyat adalah suara tuhan lebih sering digunakan pada panggung politik.
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa adagium ini sangat berlebihan, dengan pertanyaan dasar, sejak kapan suara rakyat sama dengan suara tuhan ? dan apakah mungkin bisa disamakan ? dan apakah yang terpilih atau yang dicalonkan oleh partai benar-benar atas kehendak Tuhan atau justeru kehendak partai atau ketua partai ? Hal ini tentu bisa dijawab sendiri. Adagium ini sebenarnya bertujuan untuk menjelaskan bahwa caleg atau capres- cawapres yang terpilih mendapatkan legitimasi spiritual bahwa semuanya atas kehendak Tuhan yang menggerakkan hati nurani rakyat.
Akan tetapi lain halnya jika hati digerakkan oleh amplop. Dalam memilih calon pemimpin baik yang akan duduk di lembaga legislatif mau pun yang akan duduk di lembaga eksekutif, tentunya ada pertimbangan- pertimbangan tertentu yang akan menjadi dasar untuk memilih, minimal menilai dan membandingkan integritas dan kemampuan leadership para calon. Hasil penilaian dan perbandingan ditetapkan dalam hati, tetapi semuanya bisa tergoyahkan dengan alas tangan (amplop).
Peryataan yang biasa terdengar di kalangan masyarakat, apa pedulinya mereka kepada kami disaat mereka sudah terpilih nanti, jadi mending manfaatkan momen pemilu nanti, lagi pula mereka nanti datang ke warga kalau dekat-dekat pemilu. Pernyataan ini mungkin ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, karena kepentingan politik di masa-masa mendekati pemilihan berbeda dengan kesibukan disaat menjabat nanti. Sehingga layaknya, kita tetap harus optimis untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik, karena memang begitulah strategi politik yang mayoritas calon pemimping lakukan. Pernyataan dikalangan masyarakat itu selalu
dilatabelakangi dengan permasalahan kesejahteraan. Salah satu kata-kata inspirasi yaitu “Uang bukanlah segalanya. Tapi segalanya butuh uang. Hati-hati dengan uang, Uang bisa membeli hati. Uang juga bisa membeli empati dan simpati. But, it doesn’t work to me (Rafi Dirga Maulana). Sulitnya mencegah money politic di saat pemilu, sama sulitnya mengajak orang untuk tidak suka dengan uang dan juga dibarengi dengan kondisi ekonomi sebagaian besar masyarakat Indonesia masih berada pada garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret2023 sebesar 25,90 juta orang.
Jika kita bergeser sedikit pada capres-cawapres berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai atau Gabungan Partai Politikâ€ÂÂ. Apakah partai atau gabungan partai politik yang mengusulkan capres-cawapres benar-benar mempresentasikan dirinya sebagai wakil rakyat ?. Partai politik sebagai kendaraan politik para anggota legislatif juga merupakan bagian dari sarana kedaulatan rakyat. Akan tetapi pengaruh partai kepada angota dewan lebih dominan jika kita membandingkan eksistensinya sebagai wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui sistem pemilu yang demokratis.
Target Money Politic
Hal yang ditakutkan oleh para caleg atau para kandidat dalam pembagian amplop adalah penargetan yang salah (mistargeting) yaitu pemilih yang bermain dengan dua kaki ditambah perilaku predator tim sukses yang bermain dengan dua tangan dan kedua kaki atau bisa disebut dengan istilah timses broker yang bekerja sebagai timses lebih dari satu partai, dengan kata lain tim sukses yang juga berusaha untuk mensukseskan dirinya. Untuk meminimalisir resiko ini, tentunya caleg membangun komitmen elektoral dan memiliki strategi penargetan pemilih dengan mengidentifikasi partisan kuat, partisan moderat, dan partisan lemah yang didukung dengan timses yang jujur dan disegani dikalangan masyarakat.
Target money politic, bukan hanya menyasar kalangan-kalangan ekonomi yang kurang mampu, akan tetapi juga menyasar di kalangan ekonomi menegah ke bawah, bahkan sampai pada kalangan yang memiliki status sosial tinggi atau memiliki pengaruh dikalangan masyarakat. Terkait dengan strategi penargetan yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, berdasarkan kajian klientalisme umumnya ada dua kubu besar, yaitu aliran pemilih inti (core-voter) versus aliran pemilih mengambang (swing-voter). Menurut Mazhab core-voter, partai cenderung menyasar basis partisan sendiri ketika membagikan amplop atau barang dalam rangka mendorong mereka agar memilih sehingga meningkatkan partisipasi atau biasa disebut dengan istilah “pembelian partisipasiâ€ÂÂ.
Logika yang dibangung adalah jika pemilih loyal tidak diiming-imingi insentif materiel dalam konteks pemilu dikhawatirkan tidak menggunakan haknya, untuk menghindari resiko salah target, dan pemilih inti dianggap lebih responsip, mudah dimonitoring oleh partai dan timses dan bisa diandalkan. Untuk kubu swing-voter sendiri berpendapat sebaliknya bahwa partai-partai tidak akan menyia-nyiakan anggaran terbatas yang mereka miliki dengan membelanjakan pada pendukung inti, tetapi justeru memakainya untuk mendekati pemilih mengambang atau basis lawan yang masih bisa dipengaruhi.
Alasan sederhanannya yaitu swing-voter sangat dipengaruhi oleh uang atau hadiah, sehingga menebar hadiah atau bantuan kepada pemilih loyal yang dektat dengan partai adalah bentuk kemubaziran menyia-nyiakan sumber daya yang terbatas. Sehingga tidak akan mengarahkan logistiknya kepada pendukung lawan yang terlalu ideologis. Selain itu, swing-voter cenderung meningkatkan prospek kemenangan dalam pemilu, dengan kata lain bahwa jika caleg atau partai ingin memenangkat pemilu, mereka tidak bisa hanya mengandalkan loyalis partai, tetapi perlu juga membangung strategi untuk bisa mempengaruhi pemilih mengambang yang tidak memiliki rasa simpatik secara ideologis ke partai lawan. Namun pada faktanya, caleg yang memiliki cukup banyak amunisi, akan menyasar kedua-duanya.
Janji Politik (perikatan moral)
Pertanyaan sederhana, apakah caleg yang terpilih nanti bisa digugat jika tidak memenuhi janji-janji politiknya? Jawabannya No, karena janji politik adalah perikatan moral, bukan perikatan hukum. Sehingga sanksinya berbentuk sanksi moral dalam bentuk dikarlotain (pelesetan kata dalam bahasan gorontalo). Belum ada sejarah, seorang anggota dewan, kepala daerah, atau presiden dan wakilnya digugat karena telah melakukan wanprestasi pada janji-janji politiknya kepada masyarakat. Janji politik biasanya dilakukan caleg kepada tim suksesnya yang ada di desa-desa, kecamatan, dan bahkan di tingkat kabupaten/kota.
Janji politik yang disampaikan secara pribadi melalui kunjungan para caleng kepada tim sukses yang telah terbentu, biasanya tidak berkaitan dengan visi, misi, dan program kerja, akan tetapi dalam bentuk janji yang lain. Menjanjikan sesuatu kepada tim sukses, itu merupakan suatu hak yang wajar-wajar saja dalam dunia perpolitikan di negara kita. Akan tetapi hal yang perlu juga dipahami bahwa pemaparan visi, misi, dan program kerja disaat kampanye bukanlah suatu bentuk perjanjian seperti dalam bidang hukum perdata, dan tidak ada aturan hukum yang menyatakan bahwa hal itu bisa digugat.
Tujuan Pengawasan Pemilu
Mengapa pemilu harus diawasi ? Pertama, untuk mewujudkan Pemilihan Umum yang memiliki integritas dan kredibilitas yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis. Kedua, untuk mewujudkan terselenggaranya tahapan pencalonan secara demokratis, berkualitas, tepat prosedur, dan mewujudkan integritas penyelenggara Pemilu.
Pengawasan pemilu, merupakan pengawasan terhadap tahapan-tahapan pemilu agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran pada setiap tahapan pemilu. Sehingga jawaban di atas bersifat normatif. Sehingga perlu dipahami bahwa pengawasan pemilu tidak memberikan jaminan bahwa yang terpilih adalah yang terbaik dari aspek moral, integritas, dan kredibilitas tinggi. Akan tetapi upaya pengawasan tahapan dan pelanggaran pemilu merupakan upaya untuk menghasilkan pemimpin yang bertanggungjawab, memiliki integritas dan kredibilitas tinggi. Meskipun pada faktanya tidak sedikit pejabat atau kepala daerah yang terjerat dengan tindak pidana korupsi.
Money Politic Sebagai Embrio Korupsi
Berbicara tentang definisi politik, tidak ada norma definisi dalam peraturan perundang – undangan yang memberikan definisi terkait dengan hal itu. Sehingga definisi politik yang disampaikan oleh para pakar bisa dijadikan dasar untuk membangun interpretasi arti politik. Secara pribadi mendefinisikan, Politik adalah serangkaian taktik dan strategi untuk mendapatkan kekuasaan, menjalankan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.
Taktik dan strategi untuk mendapatkan kekuasaan tentunya bisa dilakukan oleh para calon-calon legislatif mau pun calon eksekutif, dan bahkan sampai harus menghalalkan berbagai cara dengan melanggar tindak pidana pemilu (money politic). Ketika kekuasaan sudah di tangan, maka strategi selanjutnya adalah mengembalikan dana yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan kekuasaan itu, sembari politik untuk kesejahteraan rakyat. Mendekati masa pemilihan, kembali membangun strategi politik untuk mempertahankan kekuasaan yang tentunya juga membutuhkan dana untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Begitulah kira – kira gambaran sederhana dari siklus politik di negara kita tercinta. Akan tetapi perlu dipahami bahwa definisi politik ini dalam arti sempit dengan mengidentifikasi politik dengan tujuan utamanya adalah kekuasaan. Hasil penelitian pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dari hasil wawancara dengan mantan Anggota DPR RI, “potong jari saya jika ada anggota DPR/DPRD di Indonesia yang terpilih tanpa melakukan pembelian suaraâ€ÂÂ.
Masih teringat perhelatan pesta demokrasi pada pemilu sebelumnya, masih pada hari yang sama di hari pemungutan suara, topik perbincangan utama di kalangan masyarakat bergeser pada ongkos politik yang telah dikeluarkan oleh para caleg-caleg dan siapa yang akan dirawat di rumah sakit nanti jika tidak terpilih. Ongkos politik per caleg tidak tanggung – tanggung bahkan ada yang sampai menyentuh huruf “Mâ€ÂÂ, entah dari mana mereka mendapatkan data tersebut, tapi seperti itulah kenyataanya dalam topik perbincangan masyarakat.
Jika benar demikian, kalau dihitung – hitung dengan perbandingan ongkos politik jual beli suara (buying vote) dengan gaji dan tunjangan para anggota dewan, sepertinya tidak berbanding lurus. Beberapa hasil penelitian yang telah di jurnal kan menjelaskan bahwa money politik adalah akar masalah persoalan korupsi di Indonesia. Selain itu money politic cenderung akan menghasilkan pemimpin yang kurang tepat. Keputusan dan kebijakan lebih cenderung untuk kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik, sehingga kepentingan rakyat berada pada urutan sekian.
Tindak Pidana (money politic)
Secara sistematis ketentuan pidana dalam UU pemilu diatur pada Buku V di bawah titel Tindak Pidana Pemilu Buku II dari Pasal 488 sampai dengan Pasal 554. Sehingga tindak pidana pemilu diatur dalam 66 pasal. Unsur subjektif pelaku dalam tindak pidana pemilu terdiri dari tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, masyarakat umum, aparatur pemerintah, penyelenggara Negara atau pejabat publik, korporasi, pelaksanan kampanye dan peserta pemilu, calon presiden dan calon wakil presiden.
Terkhusus terkait tindak pidana politik uang terbagi ke dalam sejumlah pasal yakni Pasal 278, 280, 284, 286, 515, dan 523 UU No. 7 Tahun 2017. Dalam pasal a quo, larangan money politic dilakukan tim kampanye, peserta pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye, masa tenang, atau pada hari pemungutan suara. Kebijakan politik hukum yang sama juga mengatur larangan semua orang dengan menggunakan frasa “setiap orang†melakukan politik uang di masa tenang atau hari pemungutan suara.
Sehingga jenis delik yang terdapat dalam UU Pemilu terdiri dari delik communia dan delik propria. Delik communia merupakan delik umum yang dapat dilakukan oleh siap pun. Sehingga unsur subjektif dalam pasal menggunakan frasa “setiap orang†yang artinya ditujukan kepada siapa pun seperti pada rumusan Pasal 515 Undang-Undang No.7 Tahun 2017. Sedangkan delik propria merupakan delik khusus yakni delik yang dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, karena suatu kualitas. Salah satu larangan money politic yang merupakan delik propria dirumuskan dalam beberapa Pasal salah satunya yaitu 280 ayat (1) huruf j UU No. 7 Tahun 2017. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Substansi dalam Pasal 523 yang merupakan pasal dalam BAB Ketentuan Pidana No. 7 Tahun 2017, maka bentuk delik yang dikualifikasi sebagai tindak pidana politik uang yaitu menjanjikan, memberikan imbalan uang, dan/atau materi lainnya kepada pemilih atau peserta kampanye. Jika ditelusuri ada kesamaan unsur actus reus (perbuatan pidana) dan mens rea (kesalahan) dari berbagai pasal yang mengatur masalah money politic. Unsur kesalahan dalam pasal a qou menggunakan keseganjaan (dolus). Sedangkan untuk rumusan tempus money politic ada 3 yaitu pada waktu masa tenang, masa kampanye, dan hari pemungutan suara. Dan untuk rumusan objek yang menjadi sasaran delik money politic itu sendiri ada 2 yaitu kepada peserta kampanye pada masa kampanye dan kepada pemilih pada masa tenang dan hari pemungutan suara. Dan untuk Pasal 286 ayat (1) menambahkan 1 lagi yaitu Penyelenggara Pemilu pada masa kampanye.
Money Politic Tanpa Ancaman Sanksi Pidana !
Salah satu pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang memuat rumusan norma larangan tanpa ancaman sanksi pidana yaitu Pasal 286 ayat (1). Apakah ini keliru ? jawabannya tentu tidak. Karena memang pasal ini tidak dirumuskan dalam BAB Khusus Ketentuan Pidana. Akan tetapi yang menjadi perhatian disini adalah unsur objektif yang merupakan sasaran delik money politic ada pada frasa “Pemilihâ€ÂÂ. Meskipun pasal ini tidak merumuskan tempus (waktu), maka dengan menggunakan prinsip titulus est lex dan rubric est lex yang mana pasal ini diatur dalam BAB VII Kampanye Pemilu maka rumusan waktu yang dimaksud dalam pasal ini adalah pada Masa kampanye.
Rumusan pasal ini berbeda dengan rumusan dalam Pasal 523 ayat (1), dimana unsur objektif dalam Pasal 286 ayat (1) yaitu penyelenggaran pemilu dan/atau Pemilih. Sedangkan untuk Pasal 523 ayat (1) unsur objektif sasaran money politic hanya pada Peserta Kampanye. Sebagai ilustrasi, suami si A mendapatkan undangan untuk menghadiri kampanye pertemuan terbatas di suatu gedung dari salah satu caleg. Suami si A yang menghadiri undangan kampanye pada pertemuan terbatas, tentunya dikategorikan sebagai peserta kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (2). Dalam pertemuan tersebut suami si A menerima souvenir berupa gelas yang bernilai Rp. 67.000,- (enam puluh tujuh ribu rupiah).
Akan tetapi tim kampanye justeru menyasar si A di rumahnya secara diam-diam dan memberikan amplop yang berisi uang senilai Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) pada saat kampanye pertemuan terbatas masih berlangsung. Dengan tujuan untuk mempengaruhi atau memilih si caleg tersebut dihari pemungutan suara nanti. Legal issue dari ilustrasi di atas yaitu, apakah perbuatan Tim Kampanye si caleg melanggar ketentuan pidana pada Pasal 523 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 ?
Untuk menjawab hal ini tentunya harus terlebih dahulu membedakan antara pemilih dan peserta kampanye. Frasa “Pemilih†dan frasa “Peserta Kampanye†apakah memiliki makna yang sama ? Secara species dua hal ini memiliki makna yang berbeda, sedangkan genus-nya sama yaitu punya hak pilih. Ini merupakan metode analogi, akan tetapi tidak melanggar asas legalitas karena kedua-duanya memiliki dasar hukum yang jelas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaku money politic pada masa kampanye dengan menyasar kepada “Pemilih†dikategorikan sebagai money politic akan tetapi tidak bisa dikenakan sanksi pidana karena memang tidak ada ancaman pidananya dan juga tidak diatur dalam pasal-pasal Ketentuan Pidana.
Meskipun dalam Pasal 286 ayat (4) menegaskan bahwa sanksi administrasi yang diberikan kepada peserta pemilu tidak menggugurkan sanksi pidana. Akan tetapi ketentuan sanksi pidana yang dimaksud dalam Pasal 286 ayat (4) tidak dirumuskan dalam BAB Ketentuan Pidana pada UU No. 7 Tahun 2017.
Baca Juga : Substansi Putusan No 90/PUU-XXI/2023: Antara Kaidah Moral dan Kewenangan MK