Kami Terendam, Tapi Ternak yang Dituding Bersalah: Wonosari dalam Kegundahan

Oleh: Nur Lazimatul Hilma Sholehah, S,Ak., M.Ak., (Mahasiswa Program Doktor Universitas Tadulako)

Malam itu, kami tidak tidur. Kami bukan sedang ronda atau menunggu panen. Kami berjaga karena air datang tanpa permisi merendam rumah, menyeret perabot, dan menghapus batas antara halaman dan sungai. Di tengah genangan lumpur dan listrik padam, suara isak menggema lebih jelas dari suara bantuan.

Namun ketika warga mencari kejelasan, yang datang bukan keprihatinan, apalagi tanggung jawab. Yang datang justru undangan dari perusahaan bukan untuk membicarakan banjir, tetapi tentang kambing dan sapi warga yang dianggap mengganggu kebun tebu.Saat kami terendam, ternak yang dituding bersalah.

Ketika jembatan ambruk dan akses jalan terputus, yang menjadi agenda darurat adalah rumput yang termakan ternak. Ironi ini begitu menyakitkan. Seolah nyawa kami tidak sepenting daun. Seolah penderitaan kami hanya latar belakang dari laporan kerugian perusahaan. Kami tinggal di Kecamatan Wonosari, tanah yang kini menjadi saksi bisu dari dua kekuatan: air yang tak terbendung dan kepentingan yang tak tergoyahkan.

Satu perusahaan menguasai embung yang tak mampu mengendalikan banjir. Perusahaan lain mengangkut hasil sawit dengan truk bermuatan berlebih hingga merusak jalan desa yang menjadi nadi penghubung antarwarga. Jalan retak, jembatan tumbang, tapi laporan tetap bersih dan investasi tetap berjalan.

Sebagai dosen akuntansi yang kini fokus terhadap isu kecurangan akuntansi lingkungan, saya tahu bahwa angka di atas kertas tidak selalu mencerminkan kebenaran di lapangan. Laporan tanggung jawab sosial perusahaan bisa tampak indah, tetapi realitasnya bisa menyembunyikan jejak kerusakan dan pengabaian. Saya biasa mengajarkan bahwa pembangunan harus berkelanjutan. Tapi di sini, saya menyaksikan pembangunan yang berlanjut tanpa adab. Ia tumbuh di atas penderitaan warga, berjalan di atas ruang hidup yang dilumpuhkan, dan merasa sah karena dibungkus oleh dokumen izin yang tidak pernah dilihat rakyat.

Ini bukan pembangunan, namun ini pendudukan atas nama pertumbuhan ekonomi. Kami tidak anti-investasi. Tapi kami menolak jika investasi berarti penggusuran pelan-pelan atas hak hidup kami. Kami tidak anti-perusahaan. Tapi kami menolak jika perusahaan lebih peduli pada rumput yang digigit daripada rumah yang tergenang.Ini bukan sekadar banjir tahunan. Ini adalah titik nadir dari kelalaian tata kelola ruang dan lemahnya pengawasan izin.

Kami mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap izin pengelolaan embung, lalu lintas angkutan sawit, dan analisis dampak lingkungan yang mungkin telah lama tidak diperbarui. Jangan sampai negara menjadi pelindung yang diam, saat rakyatnya tenggelam.Kami tahu koorporasi punya kuasa. Tapi kuasa tanpa tanggung jawab hanyalah kesombongan.

Jangan hanya hadir saat daun tergigit, dan menghilang saat air naik hingga leher warga. Jangan paksa kami untuk membuka dokumen-dokumen yang selama ini Anda sembunyikan. Jangan tunggu sampai kami meneriakkan izin penguasaan sumber daya air dan pembuangan limbah yang selama ini Anda kelola tanpa transparansi. Karena jika rakyat terus digenangi, maka kesabaran bisa berubah menjadi gelombang.Kami tidak sedang meminta bantuan.

Kami menuntut keadilan. Jika pembangunan tidak berpihak pada kehidupan, maka ia hanya akan melahirkan bencana baru. Dan jika hari ini suara kami dianggap gangguan, maka kelak suara itu bisa menjadi gelombang yang merobohkan diam Anda.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts