Opini

Dari Kebijakan ke Pertarungan Pribadi: Analisis Media dalam Polarisasi Konflik Elite Gorontalo

Penulis: Dr. Imran Kamaruddin, SS.,M.I.Kom (Akademisi)

Rentetan pemberitaan yang meliput perseteruan antara Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, dan Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, telah menjadi tontonan publik yang mengkhawatirkan. Lebih dari sekadar laporan jurnalistik, narasi yang berkembang di media secara aktif membentuk dan memperdalam polarisasi di tengah masyarakat, menggeser diskursus dari substansi kebijakan menjadi drama personal dan pertarungan antar kubu. Fenomena ini dapat dianalisis melalui beberapa teori media klasik yang menjelaskan bagaimana narasi dibentuk dan memengaruhi persepsi publik.

Dalam Teori Media dalam Praktik Polarisasi, konflik yang tersaji di media tidak lagi berpusat pada pencarian solusi atas isu-isu krusial bagi daerah. Sebaliknya, ia menjadi contoh nyata bagaimana media berperan sebagai amplifier. Panggung politik Gorontalo saat ini tak ubahnya sebuah pertunjukan drama yang menyita seluruh perhatian.

Di atas panggung itu, dua aktor utama, Wali Kota Adhan Dambea dan Gubernur Gusnar Ismail, memainkan lakon perseteruan yang seolah tak berkesudahan. Media, dengan sorotan lampu kameranya, berperan sebagai sutradara yang memastikan setiap babak pertarungan ini tersaji secara dramatis kepada publik. Namun, di balik riuh tepuk tangan dan cemoohan para pendukung, ada naskah asli yang terlupakan: naskah tentang pelayanan publik dan kemajuan daerah.

Apa yang seharusnya menjadi diskursus utama kini hanya menjadi catatan kaki dalam pertunjukan. Isu-isu pembangunan kalah menarik dibandingkan narasi “serangan balik” , klaim “pengkhianatan” personal , atau bahkan sekadar cerita siapa menghindari siapa di dalam pesawat.

Media, dalam hal ini, bukan hanya melaporkan, tetapi secara aktif mengamplifikasi drama ini. Dengan membingkai konflik ini sebagai pertarungan pribadi , media mengajak publik bukan untuk berpikir kritis, melainkan untuk berpihak secara emosional. Teknik ini efektif mengubah warga negara menjadi suporter. Terciptalah kubu-kubu yang jelas: “kita” (pendukung Pemkot/Wali Kota) melawan “mereka” (pendukung Pemprov/Gubernur).

Loyalitas pada kubu menjadi lebih penting daripada kebenaran atau solusi terbaik bagi masyarakat.Dampaknya terasa hingga ke sendi-sendi pemerintahan. Ketika energi para pemimpin terkuras untuk saling serang di panggung media, pekerjaan teknis dan fundamental menjadi terbengkalai.

Melalui rentetan pemberitaan yang intens, media telah berhasil menetapkan “konflik personal elite” antara Wali Kota dan Gubernur sebagai agenda utama di benak publik. Setiap gerak-gerik, pernyataan tajam, hingga sejarah personal kedua tokoh diangkat menjadi tajuk utama, lengkap dengan bumbu drama dan bahasa emosional yang provokatif. Pertunjukan ini sukses menyita perhatian, namun ada harga mahal yang harus dibayar: matinya dialog tentang isu-isu kebijakan yang nasibnya jauh lebih krusial bagi daerah.

Inilah dampak paling berbahaya dari kekuatan agenda media. Fokus publik secara sistematis dialihkan. Perdebatan publik pun beralih dari pertanyaan substansial seperti “bagaimana solusi terbaik?” menjadi pertanyaan trivial layaknya menonton pertandingan: “siapa yang memulai dan siapa yang akan menang?”. Ruang publik tidak lagi diisi dengan adu gagasan untuk kemajuan, melainkan adu kekuatan untuk supremasi personal.

Ketika agenda media didominasi oleh konflik, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan yang sebenarnya. Para elite politik pun, sadar atau tidak, mungkin akan lebih tergoda untuk bermain drama demi merebut perhatian media ketimbang bekerja dalam sunyi untuk menyelesaikan masalah riil. Inilah saatnya publik sebagai konsumen informasi sadar akan agenda yang sedang disajikan dan mulai menuntut media untuk mengarahkan sorotannya kembali pada isu-isu yang benar-benar penting bagi kehidupan mereka.

Dampak dari pemberitaan semacam ini sangat jelas, ruang publik yang sehat terkikis. Jika terus-menerus disuguhi politik sebagai drama, publik dapat mengalami apa yang disebut .Ini adalah momen krusial bagi semua pihak untuk berefleksi. Dengan memahami kerangka kerja media ini, menjadi jelas bahwa tanggung jawab untuk meredam polarisasi tidak hanya terletak pada niat baik para aktor politik untuk menahan diri , tetapi juga pada kesadaran struktural media untuk kembali ke perannya sebagai fasilitator dialog yang konstruktif.

Pada akhirnya, masyarakat sebagai konsumen informasi harus lebih cerdas dan kritis. Kemampuan untuk membedakan antara substansi masalah yang nyata dengan sensasi drama yang dibingkai media adalah kunci utama untuk meredam polarisasi dan menuntut akuntabilitas sejati dari para pemimpin yang telah mereka pilih.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts