Oleh: Dikyanto Oto
Ketua Umum HMI Cab. pohuwato
OPINI – Hari ini, kita harus mengakui bahwa Pohuwato sedang berada dalam situasi darurat lingkungan yang paling nyata. Kerusakan lingkungan tidak lagi terjadi secara parsial, melainkan menyeluruh dari hulu sampai hilir, dari gunung sampai pesisir, dari tambang hingga mangrove. Semua lini ruang hidup masyarakat Pohuwato sedang mengalami kehancuran yang sistematis.
Di hulu, hutan-hutan yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem telah berubah menjadi lubang-lubang besar akibat aktivitas pertambangan emas ilegal (PETI) maupun legal yang sama-sama merusak. Sungai-sungai yang dulu bersih dan menjadi sumber penghidupan kini keruh oleh lumpur, tercemar oleh limbah, dan penuh dengan zat berbahaya seperti merkuri. Setiap tetes air yang mengalir membawa cerita duka tentang kerusakan yang dibiarkan terus terjadi.
Lalu, di hilir, kita menyaksikan dampak yang tak kalah memprihatinkan. Kawasan pesisir, yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat nelayan, kini terancam. Hutan mangrove yang dulunya berfungsi sebagai pelindung pesisir dari abrasi, tsunami, dan sebagai tempat pembesaran ikan, kini banyak ditebangi, digantikan tambak-tambak rakus dan pembangunan pesisir yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan mangrove bukan hanya soal ekosistem yang hilang, tapi juga soal masa depan nelayan, soal hilangnya penjaga alam dari bencana.
Dari tambang di hulu sampai mangrove di hilir, kerusakan ini menyatu dalam satu benang merah: lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kelestarian lingkungan. Negara, dalam banyak hal, tampak lebih sibuk memfasilitasi kepentingan investasi ekstraktif dibanding menjaga keberlangsungan ruang hidup rakyatnya sendiri.
Siapa yang Menanggung Akibat?
Sudah pasti bukan para pemilik modal tambang, bukan pula penguasa yang meneken izin, tetapi rakyat kecil: petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak yang tinggal di sekitar kawasan rusak.
Mereka kehilangan mata pencaharian, kehilangan akses air bersih, kehilangan hasil laut, bahkan kehilangan harapan atas masa depan. Banjir yang datang setiap musim hujan, longsor yang memutus akses jalan, abrasi yang menggerus bibir pantai, dan laut yang makin sepi ikan — semua itu adalah bukti nyata Pohuwato sedang ditinggalkan oleh ekosistemnya sendiri.
Arah Kebijakan Harus Dikoreksi..!!
Hari ini kita bicara tentang kebijakan yang serakah, pembangunan yang menutup mata atas kehancuran ruang hidup. Pemerintah wajib menghentikan narasi palsu bahwa tambang dan tambak adalah solusi ekonomi. Kenyataannya, mereka hanya meninggalkan kerusakan, konflik, dan kemiskinan ekologis.
Pohuwato butuh keberanian politik untuk menyelamatkan yang tersisa, memulihkan yang rusak, dan membangun dengan paradigma keberlanjutan, bukan eksploitasi. Penataan ulang tata ruang, moratorium tambang, pemulihan mangrove, penguatan hukum lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat pesisir dan petani harus jadi agenda prioritas.
Pohuwato Darurat Lingkungan bukan slogan, ini fakta yang kita rasakan hari ini. Jika hari ini kita tidak bersuara, esok kita hanya akan mewarisi tanah gersang, laut mati, sungai beracun, dan pesisir yang hilang. Dari hulu ke hilir, kita wajib melawan eksploitasi rakus demi ruang hidup yang lebih adil dan lestari. Selamatkan Pohuwato, mulai dari tambang di hulu hingga mangrove di hilir..!!!