Opini

Si Tangan Besi Datang Merusak Lungkungan: Flora dan Fauna Menjerit

OPINI – Di balik deru alat berat dan kepulan debu tambang, ada jeritan sunyi dari hutan yang kian sekarat. Pohuwato, tanah yang dahulu hijau dan penuh kehidupan, kini perlahan menjadi ladang luka akibat tambang emas ilegal yang dibiarkan merajalela.

Si tangan besi datang—bukan untuk membangun, tapi menghancurkan. Dan ironisnya, pemerintah kabupaten serta aparat penegak hukum (APH) memilih diam. Diam yang memekakkan.

Setiap hari, alat berat menggerus tanah, mencabik tubuh bumi tanpa ampun. Sungai-sungai tercemar, airnya berubah keruh dan beracun. Pohon-pohon ditebang, tak menyisakan tempat bagi burung, monyet, dan satwa liar lainnya yang dulu bebas berkeliaran. Flora endemik terancam punah, fauna kehilangan habitat. Tapi di tengah kehancuran itu, para penguasa lokal sibuk bermain mata dengan pelaku tambang, pura-pura tak tahu atau sengaja tak peduli.

Kita menyaksikan kerusakan hutan yang berulang, dan hilangnya spesies endemik karena habitatnya dirampas. Ironisnya, ketika mahasiswa berdiri mempertahankan tanah dan hutan mereka, mereka justru dianggap penghalang kemajuan. Alih-alih dilindungi, mereka dikriminalisasi.

Dalam negara yang katanya demokratis, suara-suara pembela lingkungan kerap dibungkam, sementara pelaku perusakan lingkungan justru mendapat karpet merah.

Di mana pemerintah daerah saat tanah leluhur ini dirusak tanpa ampun? Di mana suara Bupati, DPRD, dan para pemangku kebijakan yang seharusnya menjadi tameng rakyat dan lingkungan? Mengapa APH membisu, ketika aktivitas ilegal dilakukan terang-terangan, siang bolong sekalipun? Ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah bentuk pembiaran yang disengaja—sebuah kolusi diam yang menjual masa depan demi keuntungan sesaat.

Dengan dalih “menghidupi masyarakat”, mereka membungkus praktik rakus ini dalam balutan narasi ekonomi. Tapi realitanya, segelintir orang kaya makin kenyang, sementara rakyat kecil hanya mendapat remah-remah dan risiko penyakit akibat merkuri serta kerusakan ekosistem.

Flora dan fauna tidak bisa bicara. Tapi keheningan mereka adalah peringatan. Suara alam yang tak terdengar kini menjadi malapetaka yang nyata: banjir, longsor, dan krisis air bersih yang perlahan melumpuhkan kehidupan.Kita butuh keberanian, bukan kompromi. Pemerintah dan APH harus memilih apakah menjadi pelindung lingkungan dan rakyat, atau menjadi kaki tangan perusak bumi. Sebab sejarah akan mencatat, siapa yang berjuang dan siapa yang berkhianat.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts