OLEH : RUSTAM,SH.,MH (Dosen Fakultas Hukum UNIPO & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UMI Makassar)
OPINI – Belakangan ini, ruang publik tengah disuguhkan dengan pemberitaan mengenai praktik jual-beli rumah komunal nelayan di Kabupaten Pohuwato, yang dikabarkan nilainya dibandrol hingga 40 juta rupiah. Rumah komunal nelayan merupakan salah satu bentuk rumah umum yang dibangun oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya komunitas nelayan yang memiliki keterbatasan daya beli.
Program pembangunan rumah komunal nelayan yang dibangun oleh pemerintah merupakan bentuk perhatian nyata dan sekaligus tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan tempat tinggal yang layak khususnya bagi masyarakat nelayan yang berpenghasilan rendah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sejatinya, rumah bantuan tersebut dipergunakan oleh penerima sesuai dengan tujuan awalnya. Namun, realitas dilapangan bantuan rumah nelayan telah mengalami penyimpangan dan bergeser fungsi menjadi objek transaksi ekonomi, yang seharusnya rumah-rumah tersebut tidak dapat diperjualbelikan, kini telah berubah status menjadi komoditas pasar layaknya properti pribadi. fenomena praktik jual-beli rumah komunal menimbulkan persoalan hukum dan sosial.
Permasalahan hukum yang timbul berkaitan dengan status hak atas rumah komunal nelayan, keabsahan dan implikasi hukum praktik jual-beli rumah komunal. Berangkat dari persoalan diatas perlu ditelisik atau dikaji lebih dalam sehingga dapat memberikan pemahaman hukum mengenai fenomena yang terjadi.
Status Hak Atas Rumah Komunal
Untuk menelisik status hak atas rumah komunal nelayan, terlebih dahulu perlu dipahami landasan yuridis yang mengatur mengenai rumah khususnya rumah yang dibangun oleh pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Ketentuan hukum yang secara khusus mengatur tentang perumahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan untuk kriteria MBR diatur dalam PERMEN PUPR Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah Dan Persyaratan Kemudahan Pembangunan Dan Perolehan Rumah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, mengatur mengenai jenis rumah berdasarkan fungsi dan peruntukannya. Adapun jenis rumah dimaksud meliputi rumah komersial, rumah swadaya, rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara. Untuk memahami perbedaan di antara masing-masing jenis rumah, maka perlu diketahui pengertian dari setiap jenis rumah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Rumah komersial, adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
- Rumah swadaya, adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat.
- Rumah umum, adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
- Rumah khusus, adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus.
- Rumah Negara, adalah rumah yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
Merujuk pada pengertian rumah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, rumah komunal nelayan dapat dikategorikan sebagai rumah umum, yaitu rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Yang dimaksud masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga memerlukan dukungan dari pemerintah untuk memperoleh rumah yang layak huni. Dengan demikian, rumah komunal nelayan yang dibangun oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan serta memenuhi kebutuhan rumah yang layak bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi sehingga perlu mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 maupun PP Nomor 14 Tahun 2016 tidak secara eksplisit menyebutkan mengenai status kepemilikan atas rumah umum, sehingga menimbulkan ketidakjelasan apakah dimiliki oleh pemerintah sebagai penyelenggara atau oleh masyarakat sebagai penerima manfaat. Apabila merujuk pada pengertian Rumah umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, maka rumah komunal yang diselenggarakan oleh pemerintah pada dasarnya merupakan aset milik penyelenggara yaitu pemerintah, sedangkan pemanfaatannya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagai pemanfaat, pengguna atau hak pakai, bukan sebagai hak milik. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 135 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 yang menegaskan larangan bagi setiap orang untuk menyewakan atau mengalihkan kepemilikan atas rumah umum kepada pihak lain.
Dengan demikian, menurut pandangan penulis secara normatif dapat ditafsirkan bahwa status hak atas rumah umum atau rumah komunal nelayan yang diselenggarakan oleh pemerintah merupakan milik atau aset penyelenggara yaitu pemerintah, sementara masyarakat hanya berstatus sebagai pihak yang diberikan hak untuk memanfaatkan atau menempati rumah tersebut dengan kewajiban menjaga dan memeliharanya sesuai ketentuan yang berlaku. Bukan berstatus hak milik pribadi yang dapat di perjualbelikan.
Keabsahan praktik Jual-Beli Rumah Komunal
Secara yuridis, jual beli merupakan isu hukum yang memiliki relevansi dan termasuk bagian dari ranah hukum perdata yang mengatur hubungan hukum antara para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam kerangka hukum positif Indonesia, setiap perbuatan hukum yang berkaitan dengan objek kepemilikan harus dilandasi oleh prinsip konsensualitas yang menuntut adanya persetujuan dari pihak yang memiliki hak atas objek tersebut. Dengan demikian, setiap bentuk perjanjian jual beli, termasuk jual beli rumah komunal nelayan, harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum perdata dan memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Adapun syarat sahnya perjanjian meliputi empat hal, yaitu: pertama, adanya kesepakatan para pihak; kedua, adanya kecakapan para pihak; ketiga, adanya objek tertentu; dan keempat, adanya sesuatu hal yang halal atau tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Syarat pertama dan kedua dikenal dengan syarat subjektif sementara syarat ketiga dan keempat dikenal dengan syarat objektif, tidak terpenuhinya syarat subjektif berimplikasi perjanjian dapat dimintakan pembatalan sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif berimpilkasi pada perjanjian dinyatakan batal demi hukum atau perjanjian dianggap tidak pernah ada. Pemenuhan terhadap syarat-syarat tersebut menjadi penting agar perjanjian jual beli yang dilakukan memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat.
Apabila dikaji dalam konteks praktik jual beli rumah komunal nelayan berdasarkan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, perjanjian jual beli yang dilakukan oleh para pihak dapat dinilai cacat hukum karena tidak terpenuhinya syarat-syarat sah perjanjian, baik syarat subjektif maupun syarat objektif.
Syarat subjektif yang tidak terpenuhi adalah tidak adanya kesepakatan dari pihak pemilik rumah komunal, yaitu pemerintah sebagai pemegang hak atas aset tersebut. Hal ini sejalan dengan asas dalam hukum perdata, nemo plus juris ad alium transferre potest quam ipse habet, artinya tidak seorang pun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak yang dimilikinya. Masyarakat penerima manfaat rumah komunal bukanlah pemilik, sehingga tidak memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian jual beli atas rumah tersebut.
Selain itu, dari sisi syarat objektif, peralihan melalui jual-beli rumah komunal nelayan juga tidak terpenuhi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus berisi sesuatu yang halal dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.artinya, Jual-beli rumah komunal nelayan bertentangan atau melanggar Ketentuan Pasal 135 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menegaskan larangan bagi setiap orang untuk menyewakan atau mengalihkan kepemilikan atas rumah umum kepada pihak lain.
Dengan demikian, perjanjian jual beli yang dilakukan oleh penerima manfaat rumah komunal bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian tersebut secara otomatis batal demi hukum atau, dengan kata lain, dianggap tidak pernah ada.
Implikasi Hukum Praktik Jual Beli Rumah Komunal Nelayan
Implikasi hukum adalah konsekuensi atau dampak hukum yang timbul dari suatu perbuatan, keputusan, atau kejadian tertentu. Dalam konteks tulisan ini implikasi hukum yang dimaksud adalah dampak hukum akibat adanya perbuatan atau kejadian berupa pengalihan atau jual-beli atas rumah komunal nelayan. Adapun implikasi hukum yang timbul akibat jual-beli tersebut yaitu :
- Implikasi hukum dalam konteks hukum perdata, perjanjian jual-beli rumah nelayan tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian baik syarat subjektif mapun objektif, sehingga perjanjian yang dibuat adalah tidak sah dan batal demi hukum, artinya pengalihan hak atas rumah komunal nelayan kepada pihak lain dianggap tidak pernah terjadi. Dengan demikian, pihak pembeli tidak memiliki hak hukum untuk mempertahankan rumah yang telah dibeli apabila pemilik sah yaitu pemerintah, mengambil alih kembali rumah tersebut.
- Implikasi hukum dalam konteks hukum pidana, mengalihkan rumah umum atau rumah yang diselenggarakan oleh pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dapat dikenakan pidana denda sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 152 UU Nomor 1 Tahun 2011 yang menegaskan bahwa setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
- Selain sanksi pidana, pengalihan rumah komunal nelayan juga dapat berimplikasi saknsi administratif yaitu berupa penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel) dan pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah sebagaimana diatur dalam pasal 150 ayat ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2011.
- Potensi sengketa hukum, Jual beli bantuan rumah komunal yang dilakukan secara tidak sah berpotensi menimbulkan sengketa hukum antara penerima manfaat, pihak pembeli, dan pemerintah. Pihak pembeli dapat mengklaim hak kepemilikan, sementara pemerintah menegaskan bahwa rumah tersebut tidak dapat dialihkan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus melalui kewenangannya memperkuat regulasi terkait bantuan rumah komunal bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peraturan tersebut dapat berupa peraturan bupati atau perjanjian antara pemerintah dengan pihak penerima manfaat dalam rangka meminimalisir potensi sengketa hukum dikemudian hari.








