Oleh: Dhiya Tul Mufidah Dulman
OPINI – Luka yang paling dalam bukanlah yang mengucur darah, melainkan yang bersarang dalam jiwa—diam-diam menggerogoti keberanian dan mengubah arah hidup seseorang. Kalimat ini, meskipun terdengar puitis, merepresentasikan kenyataan yang amat sunyi namun mengguncang: luka psikologis akibat bullying, terutama terhadap perempuan.
Dalam masyarakat modern yang makin terhubung secara digital namun sering kali terputus dalam empati, bullying telah menjadi bentuk kekerasan yang tersembunyi namun sistemik. Tidak selalu tampak dalam bentuk kekerasan fisik yang dapat difoto atau dilaporkan, tetapi justru dalam kata-kata sinis, ejekan, penilaian, pelecehan, pengucilan, hingga tekanan sosial yang membentuk trauma diam-diam. Luka itu tertanam dalam, membekas pada ruang batin, dan acap kali tidak disadari hingga bertahun-tahun setelahnya.
Bullying bukan sekadar tindakan agresi sesaat atau perilaku menyimpang individu. Ia adalah sebuah mekanisme kekuasaan—bentuk kekerasan simbolik yang direproduksi dalam relasi sosial, dan menyasar aspek paling intim dari manusia: harga diri, identitas, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Terutama bagi perempuan, bullying sering kali berbalut norma gender yang patriarkal, menargetkan tubuh, cara berpakaian, suara, sikap, bahkan cita-cita dan pilihan hidup mereka.
Dimensi Gender dalam Bullying: Perempuan Sebagai Target Simbolik
Dalam konteks sosial yang masih sarat ketimpangan gender, perempuan kerap dijadikan sasaran empuk kekerasan simbolik yang berbentuk bullying. Fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan struktur patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi “yang lain”. Tekanan yang mereka alami tidak hanya bersifat interpersonal, tetapi juga struktural.
Bullying terhadap perempuan sering kali mengambil bentuk seksisme sehari-hari (everyday sexism), seperti meremehkan kemampuan intelektualnya, mengobjektifikasi tubuhnya, mempertanyakan pilihannya dalam berkarier, atau menertawakan suara dan penampilannya. Semua ini menciptakan atmosfer sosial yang meminggirkan perempuan dari ruang aktualisasi diri yang sejati.
Hal yang lebih memprihatinkan adalah bahwa bullying berbasis gender ini kerap dianggap “biasa saja” atau bahkan dinormalisasi sebagai bagian dari “budaya bercanda”. Padahal, dampaknya sangat nyata dan merusak, terutama bagi perempuan yang sedang mencari jati diri, kebebasan, dan makna eksistensial dalam hidupnya.
Luka Psikologis dan Trauma Eksistensial
Luka akibat bullying bukan sekadar luka emosional sesaat. Ia bisa berkembang menjadi trauma psikologis yang kompleks, mengakar dalam kepribadian dan mengganggu rasa aman seseorang dalam menjalani hidup. Rasa malu, tidak berharga, terisolasi, hingga kehilangan makna hidup adalah manifestasi dari luka ini.
Dari sudut pandang eksistensialisme, sebagaimana dikemukakan Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre, trauma ini tidak hanya merenggut kebahagiaan sesaat, tetapi juga merusak hubungan seseorang dengan kebebasan dan tanggung jawab eksistensialnya.
Simone de Beauvoir, dalam karya klasiknya The Second Sex, menyatakan bahwa perempuan kerap tidak dipandang sebagai subjek, melainkan sebagai “yang lain”—entitas yang didefinisikan bukan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh pandangan laki-laki dan struktur sosial.
Ketika seorang perempuan mengalami bullying, dia tidak hanya merasa disakiti sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari kelompok yang secara historis dan sistemik didiskriminasi. Trauma yang timbul bukan hanya akibat rasa sakit personal, tetapi karena adanya kehilangan kendali atas eksistensi diri. Ia merasa kehilangan otoritas atas dirinya, seolah-olah dunia di sekitarnya mendikte siapa dirinya dan bagaimana ia seharusnya hidup.
Jean-Paul Sartre pernah menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi.” Maksudnya, manusia seharusnya bebas untuk menciptakan dirinya sendiri—menentukan identitas dan makna hidupnya. Namun dalam realitas yang timpang, “esensi” perempuan justru sering kali didiktekan secara sosial: bagaimana seharusnya perempuan berpakaian, berbicara, berambisi, dan bermimpi. Dalam sistem yang demikian, eksistensi perempuan dibelenggu oleh harapan dan standar luar yang menindas, dan bullying menjadi alat utama untuk memastikan agar mereka tetap tunduk.
Penyembuhan yang Tidak Sederhana
Sering kali, masyarakat menyederhanakan proses penyembuhan luka psikologis dengan narasi seperti “move on”, “jangan diambil hati”, atau “waktu akan menyembuhkan segalanya”. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Luka psikis akibat bullying berbasis gender adalah luka yang berlapis. Ia bukan hanya soal perasaan, tetapi soal identitas dan eksistensi.
Dalam banyak kasus, luka tersebut tidak bisa benar-benar “disembuhkan” dalam arti hilang total. Bahkan profesional psikologi pun memahami bahwa trauma tidak sepenuhnya bisa dihapus, melainkan dikelola dan direkonstruksi menjadi bagian dari kekuatan diri. Proses ini membutuhkan kesadaran, dukungan sosial, ruang aman, serta pengakuan dan validasi dari lingkungan sekitar.
Bagi perempuan yang menjadi korban, proses pemulihan bisa menjadi perjalanan panjang untuk merebut kembali otonomi diri yang sempat dirampas. Mereka tidak butuh dikasihani, melainkan dihormati perjuangannya. Mereka butuh ruang untuk mengartikulasikan luka mereka tanpa takut dihakimi. Mereka butuh solidaritas, bukan stigma.
Pentingnya Ruang Empati dan Perubahan Sosial
Bullying terhadap perempuan bukan persoalan individual, melainkan cermin dari masalah sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, penyelesaiannya pun harus bersifat kolektif dan struktural. Masyarakat harus mulai membangun ruang empati dan kesadaran yang lebih dalam tentang dampak bullying.
Pendidikan tentang gender, hak asasi manusia, dan etika komunikasi harus menjadi bagian integral dari kurikulum di sekolah dan kampus. Media sosial, yang kerap menjadi lahan subur bagi bullying, harus diawasi secara etis dan dilengkapi dengan literasi digital yang memberdayakan. Di lingkungan kerja dan komunitas, harus ada kebijakan yang secara tegas melindungi hak-hak perempuan dari perlakuan diskriminatif dan kekerasan simbolik.
Pengakuan terhadap trauma bukan berarti menghidupkan luka secara terus-menerus, tetapi memberi tempat bagi pengalaman perempuan untuk dipahami sebagai bagian dari perjuangan kemanusiaan. Ketika masyarakat mulai percaya pada luka yang tidak terlihat, maka mereka sedang mengambil langkah pertama menuju keadilan sejati.
Dari Luka Menuju Kesadaran Kolektif
Perempuan korban bullying tidak sedang meminta belas kasihan. Mereka meminta agar dunia berhenti memaksa mereka diam. Mereka menginginkan keadilan, pengakuan, dan ruang untuk membangun diri mereka sendiri—bukan berdasarkan standar yang dipaksakan, tetapi atas dasar pilihan bebas dan kesadaran eksistensial mereka sendiri.
Dalam dunia yang masih terlalu sibuk menghargai luka yang berdarah dan mengabaikan luka yang berbisik, tugas kita adalah menjadi pendengar yang peka dan penggerak yang adil. Hanya dengan begitu, luka-luka yang dalam bisa menjadi awal dari keberanian baru untuk hidup, memilih, dan menjadi.