Oleh: Fikri Papempang (Kabid PTKP komisariat hukum HMI cabang Pohuwato)
Opini – Penerbitan Peraturan Kepolisian “Perpol” No. 10 Tahun 2025 menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola negara hukum di Indonesia. Persoalan tersebut bukan semata soal kebijakan internal institusi, melainkan menyangkut ketaatan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, hierarki peraturan perundang-undangan, dan putusan Mahkamah Konstitusi MK sebagai penjaga konstitusi.
Secara konstitusional, Indonesia menganut prinsip supremasi konstitusi atau “Rule of law” (supremasi hukum). di mana seluruh tindakan dan peraturan negara harus tunduk pada UUD 1945. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, tidak ada satu pun peraturan di bawah undang-undang termasuk Perpol yang boleh bertentangan dengan konstitusi atau putusan MK. “Lex superior derogat legi inferiori” (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan perturan yang lebih rendah).
Fakta hukum yang tidak dapat dibantah adalah bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945. Putusan MK tidak memerlukan persetujuan lembaga lain dan wajib dilaksanakan oleh seluruh organ negara. Dalam berbagai putusannya, MK secara konsisten menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil, kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Prinsip ini bertujuan menjaga profesionalisme Polri dan mencegah konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan sipil.
Dari perspektif hierarki peraturan perundang-undangan, keberadaan Perpol No. 10 Tahun 2025 juga bermasalah. UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022 secara tegas mengatur bahwa peraturan internal lembaga negara tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi. Perpol, sebagai peraturan internal institusi, tidak memiliki legitimasi untuk menafsirkan ulang atau menyimpangi putusan MK. Ketika hal tersebut dilakukan, yang terjadi bukan inovasi kebijakan, melainkan penyimpangan hukum “legal deviation“.
Secara empiris, sejarah reformasi sektor keamanan di Indonesia menunjukkan bahwa pemisahan tegas antara fungsi sipil dan aparat keamanan merupakan tuntutan utama pasca-reformasi 1998. Penghapusan dwifungsi aparat bukan hanya agenda politik, tetapi juga langkah struktural untuk membangun demokrasi dan akuntabilitas kekuasaan. Setiap kebijakan yang membuka kembali ruang bagi aparat keamanan aktif untuk masuk ke jabatan sipil tanpa mekanisme pengunduran diri bertentangan dengan arah reformasi tersebut.
Dengan demikian, Perpol No. 10 Tahun 2025 tidak hanya bermasalah secara normatif, tetapi juga melemahkan konsistensi negara dalam menegakkan prinsip negara hukum. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka akan tercipta preseden berbahaya: institusi negara dapat menghindari konstitusi melalui regulasi internal. Pada titik itu, supremasi konstitusi kehilangan maknanya.
Dalam negara demokratis, kedisiplinan konstitusional aparat negara adalah syarat mutlak, bukan pilihan. Kepatuhan terhadap UUD 1945 dan putusan MK bukan ancaman bagi institusi, melainkan fondasi bagi legitimasi dan kepercayaan publik.






