Oleh: Andi Muh. Maulana Asmar (Ketua HMI Bidang PA Cabang Pohuwato)
OPINI – Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2025 seharusnya menjadi ruang reflektif sekaligus komitmen kolektif untuk memperkuat agenda perlindungan lingkungan pesisir, terutama ekosistem mangrove yang secara ekologis sangat krusial. Namun di Pohuwato, Gorontalo, peringatan ini justru menjadi cermin kerapuhan tata kelola lingkungan. Ekosistem mangrove di kabupaten ini bukan hanya rusak, tapi secara sistematis dihancurkan oleh praktik alih fungsi lahan, tambak ilegal, dan aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI).
Berdasarkan berbagai temuan lapangan dan hasil kajian komunitas sipil, tercatat sekitar 8.000 hektar lebih kawasan mangrove di Pohuwato mengalami degradasi serius dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Konversi hutan mangrove menjadi kawasan tambak dan pemukiman tidak hanya melanggar asas daya dukung lingkungan, tetapi juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sayangnya, regulasi yang ada seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, serta Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Mangrove, belum memberikan efek jera terhadap para pelaku perusakan lingkungan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan serius antara kerangka hukum dan implementasi di lapangan.
Paradoks ini memperlihatkan bahwa masalah utama bukan pada kekurangan regulasi, melainkan pada lemahnya penegakan hukum lingkungan, konflik kepentingan dalam perizinan, serta minimnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan.
Pemerintah daerah terlihat gamang dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kepentingan ekologis jangka panjang. Mangrove yang seharusnya menjadi garda terdepan pelindung pesisir kini berubah menjadi korban dari model pembangunan eksploitatif yang didorong oleh logika pertumbuhan, bukan keberlanjutan.
Rekomendasi dan Arahan Kajian KebijakanUntuk menjawab krisis ini secara akademik dan strategis, perlu dirumuskan langkah-langkah yang berbasis pada kajian ilmiah dan prinsip tata kelola lingkungan yang baik (good environmental governance), antara lain:
1. Kajian Spasial dan Ekologis Menyeluruh terhadap Kawasan Pesisir Pohuwato.Pemerintah daerah bersama perguruan tinggi lokal dan KLHK perlu menyusun baseline data ekosistem mangrove berbasis citra satelit dan pemetaan partisipatif. Ini penting sebagai dasar hukum untuk moratorium alih fungsi lahan dan perbaikan tata ruang.
2. Evaluasi Regulasi Daerah dan Harmonisasi dengan UU NasionalRekomendasi: DPRD dan Pemkab perlu mengevaluasi seluruh Perda dan Perbup yang berkaitan dengan pesisir, perikanan, dan tambak, guna mencegah celah regulatif yang memungkinkan pembiaran praktik ilegal.
3. Penegakan Hukum Berbasis Bukti dan Penelusuran Akar AktorRekomendasi: Aparat penegak hukum harus menggunakan pendekatan kejahatan lingkungan (environmental crime) untuk mengusut aktor utama, termasuk pemodal dan pemberi izin. Perlu kerja sama dengan KPK dan PPATK untuk melacak aliran uang dari aktivitas tambak/mangrove ilegal.
4. Restorasi Ekosistem Mangrove sebagai Agenda PrioritasRekomendasi: Menetapkan program Restorasi Ekosistem Terpadu berbasis masyarakat lokal, dengan skema pendanaan dari APBD, dana CSR, serta skema carbon credit dan climate financing internasional (misal: REDD+ atau Green Climate Fund).
5. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Mangrove dan Pembangunan Berbasis Daya DukungRekomendasi: Kabupaten Pohuwato perlu memiliki dokumen RAD Mangrove sebagai turunan dari Strategi Nasional (Stranas) Mangrove dan dokumen RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), dengan indikator kinerja dan pengawasan yang jelas.
6. Partisipasi Publik dan Transparansi Data LingkunganRekomendasi: Pemda bersama DLH dan NGO lokal wajib membuka akses publik terhadap data kerusakan dan pemanfaatan kawasan mangrove, serta memperkuat forum masyarakat pesisir sebagai aktor pengawas sosial.
Hari Mangrove Sedunia tidak boleh hanya menjadi seremoni tahunan yang penuh slogan, tetapi harus menjadi titik balik untuk menggugat akar krisis dan membangun kesadaran ekologis kolektif.
Pohuwato membutuhkan keadilan ekologis, bukan sekadar pernyataan politis. Jika kerusakan dibiarkan tanpa koreksi struktural, maka krisis ekologis akan segera bertransformasi menjadi krisis kemanusiaan dan ekonomi yang jauh lebih dalam.