Di era digital yang serba terbuka, pemimpin akademik dan inovator tidak cukup hanya mengandalkan prestasi ilmiah. Mereka juga perlu mengelola citra diri melalui dua aspek penting: branding profesional dan branding personal. Keduanya saling terkait, membentuk reputasi, serta menentukan seberapa besar pengaruh yang bisa mereka berikan.
Branding profesional dapat dijelaskan dengan teori human capital dari Gary Becker (1964), yang menekankan bahwa keahlian, pendidikan, dan pengalaman seseorang adalah modal yang menciptakan nilai. Dalam konteks akademik, modal ini tampak pada publikasi, jabatan, serta kontribusi ilmiah. Semua itu menjadi dasar kredibilitas seorang pemimpin.
Sementara itu, branding personal lebih dekat dengan konsep personal branding yang dikemukakan Tom Peters (1997). Peters menyatakan bahwa setiap individu adalah sebuah “brand” yang perlu dikelola layaknya perusahaan. Identitas personal, nilai, dan cara berinteraksi menjadi bagian dari diferensiasi yang membedakan satu pemimpin dengan yang lain.
Interaksi keduanya dapat dipahami dengan menggunakan teori impression management dari Erving Goffman. Menurut Goffman, individu selalu menampilkan “pertunjukan” dalam kehidupan sosial. Artinya, pemimpin akademik perlu mengatur bagaimana tampilannya di ruang profesional selaras dengan kepribadian yang mereka tunjukkan di ruang personal.
Dalam dunia kepemimpinan, konsep transformational leadership dari James MacGregor Burns juga relevan. Pemimpin transformasional tidak hanya mengandalkan otoritas formal, tetapi juga membangun hubungan emosional dengan pengikutnya. Di sinilah branding personal memainkan peran besar untuk menumbuhkan kepercayaan.
Branding profesional adalah pondasi. Tanpa kredensial, riset, dan karya nyata, pemimpin akademik atau inovator akan kehilangan legitimasi. Teori signaling dalam ilmu komunikasi menjelaskan bahwa prestasi akademik bertindak sebagai sinyal kompetensi yang diterima oleh publik dan komunitas ilmiah.
Namun, sinyal kompetensi saja tidak cukup. Menurut teori social identity dari Henri Tajfel, orang lebih mudah terhubung dengan sosok yang dianggap mewakili nilai atau kelompok sosial mereka. Branding personal memberi ruang bagi pemimpin untuk menampilkan sisi humanis yang membuat publik merasa dekat.
Contoh praktisnya, seorang rektor yang aktif membagikan pemikiran di media sosial dengan gaya bahasa sederhana akan lebih mudah diterima mahasiswa. Dari perspektif teori komunikasi, hal ini mencerminkan strategi framing, yaitu membentuk persepsi melalui pilihan bahasa dan cara menyampaikan pesan.
Inovator juga membutuhkan keduanya. Teori diffusion of innovations dari Everett Rogers menjelaskan bahwa penerimaan inovasi tidak hanya bergantung pada kualitas produk, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap inovatornya. Di sinilah branding personal membantu karya inovatif lebih cepat diterima.
Keselarasan branding profesional dan personal menciptakan integritas. Menurut Stephen Covey, integritas adalah kesesuaian antara kata, tindakan, dan nilai. Ketika profesionalisme dan personalitas sejalan, pemimpin akan dipandang autentik, bukan sekadar pencitraan.
Risiko muncul ketika branding profesional dan personal bertolak belakang. Dalam kerangka teori cognitive dissonance dari Leon Festinger, ketidak sesuaian antara citra profesional dan perilaku personal menciptakan ketidaknyamanan psikologis di mata publik, yang akhirnya menurunkan kepercayaan.
Strategi penyelarasan dapat dilakukan dengan storytelling. Paul Zak dalam penelitiannya menunjukkan bahwa cerita yang menyentuh emosi memicu kepercayaan melalui hormon oksitosin. Artinya, pemimpin akademik yang membagikan perjalanan hidupnya akan lebih mudah membangun koneksi emosional dengan publik.
Media sosial memberi ruang luas untuk praktik ini. Teori uses and gratifications menjelaskan bahwa audiens mencari konten yang memberi manfaat, hiburan, maupun identifikasi diri. Jika pemimpin akademik memadukan riset dengan refleksi personal, konten mereka akan lebih relevan.
Kegiatan mentoring juga memperkuat interaksi dua branding. Menurut teori servant leadership dari Robert Greenleaf, pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan pelayanan. Ketika pemimpin membimbing mahasiswa atau peneliti muda, citra profesional dan personalnya akan menguat sekaligus.
Dalam praktik inovasi, kombinasi branding ini berfungsi sebagai trust capital. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust menekankan bahwa kepercayaan adalah fondasi kerja sama. Inovator dengan kredibilitas ilmiah dan personalitas yang rendah hati lebih mungkin menarik investor maupun mitra riset.
Institusi akademik dapat berperan dalam mengelola reputasi pemimpinnya. Dengan menyediakan pelatihan komunikasi publik, manajemen media, dan etika kepemimpinan, universitas membantu pemimpin agar branding profesional dan personal tetap terjaga.
Dalam konteks global, branding personal yang kuat dapat melengkapi branding profesional untuk memperluas jejaring. Teori network society dari Manuel Castells menunjukkan bahwa kekuatan individu dalam era digital sangat ditentukan oleh jaringan sosialnya.
Pemimpin akademik dan inovator yang mampu memadukan keduanya akan lebih mudah menjadi thought leader. Mereka tidak hanya menghasilkan gagasan, tetapi juga membentuk opini publik. Inilah yang membuat peran mereka melampaui batas kampus dan laboratorium.
Jika branding hanya dilihat sebagai pencitraan, maka dampaknya akan singkat. Tetapi jika dipahami sebagai strategi berbasis teori dan praktik yang konsisten, branding dapat menjadi modal sosial sekaligus modal reputasi yang menentukan keberlanjutan kepemimpinan.
Dengan demikian, interaksi branding profesional dan personal bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis. Pemimpin akademik dan inovator yang berhasil memadukan otoritas ilmiah dengan kehangatan personal akan menjadi figur yang dihormati sekaligus dicintai, baik di ruang akademik maupun dalam kehidupan masyarakat luas. (*)