Hukum, sebagai instrumen pengatur kehidupan bermasyarakat, tidak hanya berfungsi sebagai seperangkat aturan yang harus ditaati. Dalam kacamata akademis, hukum adalah objek studi yang kompleks, melibatkan filsafat, sejarah, dan sosiologi. Memahami hukum secara mendalam berarti menelusuri berbagai teori yang mencoba menjawab pertanyaan mendasar: apa itu hukum, dari mana asalnya, dan bagaimana seharusnya ia berfungsi?
Tiga teori hukum yang paling berpengaruh: Positivisme Hukum, Hukum Alam, dan Realisme Hukum. Ketiga teori ini menawarkan perspektif yang berbeda dan terkadang saling bertentangan, memberikan landasan bagi perdebatan intelektual yang kaya di bidang ilmu hukum.
1. Positivisme Hukum
Jeremy Bentham dan John Austin sering disebut sebagai pendiri positivisme hukum klasik. Keduanya berpendapat bahwa hukum adalah perintah manusia yang berasal dari penguasa, dan keabsahannya tidak bergantung pada moralitas atau keadilan intrinsik, melainkan pada kepatuhan dan sanksi. Teori mereka, yang mengklasifikasikan hukum sebagai “hukum positif” atau aturan yang ada, menjadi landasan bagi perkembangan lebih lanjut positivisme hukum.
Positivisme Hukum berfokus pada hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh otoritas yang sah. Teori ini memisahkan hukum dari moralitas. Bagi kaum positivis, hukum adalah apa yang secara formal diatur dalam undang-undang, peraturan, atau konstitusi, terlepas dari apakah isinya adil atau tidak. Hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat, dan validitasnya tidak bergantung pada standar etika atau moral.
Jeremy Bentham dan John Austin adalah pendiri positivisme klasik. Austin mendefinisikan hukum sebagai “perintah dari penguasa yang berdaulat” yang didukung oleh sanksi. Hukum, baginya, adalah fenomena sosial yang dapat diamati dan dipelajari secara empiris.
Positivisme Modern: H.L.A. Hart menawarkan pandangan yang lebih canggih. Ia memperkenalkan konsep “aturan primer” (aturan perilaku) dan “aturan sekunder” (aturan tentang aturan, seperti aturan pengakuan, perubahan, dan adjudikasi). Menurut Hart, hukum adalah penyatuan dari aturan primer dan sekunder ini. Aturan pengakuan (rule of recognition) menjadi kunci, karena ia menentukan kriteria validitas suatu aturan hukum.
Positivisme sering dikritik karena dianggap mengabaikan dimensi moral dan keadilan. Dalam kasus ekstrem, positivisme dapat membenarkan rezim totaliter yang membuat undang-undang kejam, selama prosedur pembuatannya sah.
2. Teori Hukum Alam
Berbeda dari positivisme, Teori Hukum Alam menyatakan bahwa ada hukum yang lebih tinggi, yang bersumber dari moralitas, akal budi, atau alam semesta. Hukum positif (hukum buatan manusia) hanya sah jika sejalan dengan prinsip-prinsip hukum alam ini. Hukum yang bertentangan dengan keadilan fundamental dianggap tidak layak disebut hukum.
Akar teori ini dapat dilacak hingga filsafat Yunani kuno, terutama Aristoteles, yang membedakan antara keadilan alami dan keadilan legal. Stoa juga mengajarkan konsep hukum universal yang mengatur semua manusia.
Thomas Aquinas menggabungkan teori hukum alam dengan teologi Kristen. Ia membagi hukum menjadi empat jenis: lex aeterna (hukum abadi Tuhan), lex divina (hukum ilahi), lex naturalis (hukum alam yang bisa dipahami akal manusia), dan lex humana (hukum manusia).
John Locke mengaitkan hukum alam dengan hak-hak individu, seperti hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Pandangan ini sangat memengaruhi deklarasi kemerdekaan dan konstitusi modern.
Teori ini sering digunakan untuk membenarkan perlawanan terhadap undang-undang yang dianggap tidak adil, seperti undang-undang apartheid atau diskriminasi ras. Prinsip-prinsip hak asasi manusia universal sangat erat kaitannya dengan gagasan hukum alam.
Teori ini sering dianggap terlalu abstrak dan subyektif. Apa yang dianggap “alamiah” atau “moral” bisa berbeda antar individu dan budaya, sehingga sulit untuk dijadikan dasar yang pasti.
3. Realisme Hukum
Realisme Hukum menolak baik idealisme hukum alam maupun formalisme positivisme. Realis berpendapat bahwa hukum bukanlah sekadar aturan di atas kertas, melainkan apa yang benar-benar diputuskan oleh hakim dan pejabat hukum lainnya. Teori ini berfokus pada praktik hukum yang sebenarnya, mengabaikan retorika formal. Hukum adalah hasil dari faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan bahkan psikologis yang memengaruhi para hakim.
Oliver Wendell Holmes Jr., seorang hakim Mahkamah Agung AS, adalah salah satu figur sentral. Ia berpendapat bahwa “kehidupan hukum bukanlah logika, melainkan pengalaman.” Ia mendefinisikan hukum dari sudut pandang “orang jahat” (the bad man) yang hanya peduli dengan konsekuensi nyata dari perbuatannya, yaitu apa yang akan diputuskan oleh pengadilan.
Karl Llewellyn dan Jerome Frank menekankan peran faktor non-hukum dalam pengambilan keputusan. Mereka berpendapat bahwa keputusan hakim seringkali dipengaruhi oleh bias pribadi, latar belakang, dan pandangan politik, bukan hanya oleh teks undang-undang.
Realisme melihat hukum sebagai sebuah prediksi. Jika Anda ingin tahu apa itu hukum, jangan baca undang-undang; tanyakan apa yang akan diputuskan oleh hakim. Fokusnya adalah pada efektivitas hukum di dunia nyata.
Realisme sering dianggap terlalu skeptis terhadap peran aturan formal. Kritikus berpendapat bahwa realisme merusak idealisme hukum dan mengurangi hakim menjadi sekadar pembuat keputusan yang dipengaruhi oleh preferensi pribadi, padahal aturan hukum tetap menjadi panduan penting.
Kesimpulan
Ketiga teori ini – Positivisme, Hukum Alam, dan Realisme – merepresentasikan spektrum pemikiran yang luas tentang hakikat hukum. Positivisme memberikan fondasi yang jelas dan empiris, berfokus pada hukum sebagai sistem aturan yang sah. Hukum Alam menawarkan dimensi moral dan etika, menegaskan bahwa hukum yang benar harus adil dan sesuai dengan akal sehat. Sementara itu, Realisme membawa perspektif praktis dan skeptis, mengingatkan kita bahwa hukum dalam praktiknya adalah hasil dari tindakan manusia yang kompleks.
Memahami ketiganya memungkinkan kita untuk melihat hukum secara holistik, tidak hanya sebagai teks undang-undang, tetapi juga sebagai refleksi moralitas masyarakat dan sebagai proses sosial yang dinamis. Perdebatan antara teori-teori ini terus membentuk wacana akademis dan praktis tentang hukum, membantu kita merumuskan sistem hukum yang lebih adil, efektif, dan relevan dengan tantangan zaman.