Gangguan mental merupakan isu yang semakin penting diperhatikan dalam organisasi dan lembaga pendidikan. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah suatu keadaan sejahtera di mana individu menyadari potensi diri, mampu mengatasi tekanan hidup, serta dapat bekerja secara produktif.
Sayangnya, banyak orang di lingkungan kerja maupun pendidikan yang mengalami gangguan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan, yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka baik secara pribadi maupun pekerjaannya.
Teori dari Lazarus dan Folkman (1984) tentang stress and coping menjelaskan bahwa stres dan gangguan mental muncul ketika individu menilai tuntutan yang dihadapi lebih besar daripada sumber daya yang mereka miliki. Dalam konteks organisasi atau lembaga pendidikan, tekanan yang berlebihan, tuntutan akademik atau pekerjaan yang tinggi, serta kurangnya dukungan sosial menjadi pemicu utama gangguan mental.
Dampak utama gangguan mental adalah penurunan kinerja individu. Menurut Robbins (2001), produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis individu. Gangguan mental seperti depresi atau kecemasan menyebabkan penurunan konsentrasi, kreativitas, dan motivasi, sehingga individu tidak mampu memberikan performa terbaiknya.
Dalam lembaga pendidikan, gangguan mental pada siswa atau mahasiswa dapat menurunkan prestasi akademik. Menurut Santrock (2007), kesehatan mental yang buruk dapat menghambat kemampuan belajar, memengaruhi memori, serta mengganggu fokus dan atensi siswa dalam proses pembelajaran.
Dampak lainnya adalah meningkatnya absensi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kessler et al. (2008), gangguan mental merupakan salah satu penyebab utama absensi dan ketidakhadiran dalam jangka panjang, baik di dunia kerja maupun sekolah. Hal ini menunjukkan perlunya intervensi dini untuk meminimalisir dampak buruknya.
Gangguan mental juga berpengaruh terhadap hubungan sosial. Menurut Erikson (1963) dalam teorinya tentang tahap perkembangan psikososial, individu yang mengalami gangguan mental cenderung kesulitan membangun relasi interpersonal yang sehat, sehingga memicu konflik atau isolasi sosial.
Lingkungan organisasi atau lembaga pendidikan juga akan terdampak secara keseluruhan. Menurut teori sistem Bronfenbrenner (1979), gangguan mental individu memengaruhi lingkungan mikro (teman sekelas, rekan kerja) dan makro (budaya organisasi atau sekolah). Akibatnya, suasana kerja atau belajar menjadi kurang kondusif.
Ketika banyak anggota lembaga mengalami gangguan mental, produktivitas organisasi secara keseluruhan menurun. Hal ini sejalan dengan konsep Organizational Citizenship Behavior (OCB) oleh Organ (1988), yang menyatakan bahwa kesejahteraan mental individu sangat mempengaruhi perilaku prososial dan kinerja organisasi.
Selain itu, rekan kerja atau teman sekelas yang harus menanggung beban tambahan akibat ketidakhadiran atau kurangnya kontribusi individu yang terdampak bisa mengalami stres sekunder. Hal ini memicu siklus gangguan mental yang lebih luas di dalam organisasi atau lembaga pendidikan.
Salah satu risiko serius adalah meningkatnya turnover pegawai atau drop out mahasiswa. Menurut Price (1977) dalam teori turnover-nya, kondisi kerja yang tidak mendukung kesejahteraan mental menjadi faktor signifikan yang mendorong individu untuk keluar dari organisasi atau lembaga.
Untuk itu, organisasi dan lembaga pendidikan perlu menerapkan kebijakan yang mendukung kesehatan mental. Menurut teori kebutuhan Maslow (1943), individu yang merasa aman secara psikologis akan lebih mampu berkembang, sehingga penting bagi organisasi untuk memenuhi kebutuhan dasar psikologis karyawan dan siswa.
Pelatihan bagi guru, dosen, dan manajer untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental juga sangat penting. Menurut teori Bandura (1977) tentang self-efficacy, individu yang mendapatkan dukungan sosial dan pelatihan cenderung memiliki keyakinan diri lebih tinggi untuk menghadapi stres dan tantangan.
Gangguan mental bukan hanya masalah individu, tetapi berdampak luas pada produktivitas, hubungan sosial, dan suasana organisasi atau lembaga pendidikan. Dengan pendekatan yang komprehensif, seperti menciptakan lingkungan inklusif, menyediakan layanan konseling, dan membangun kebijakan kesehatan mental, organisasi dan lembaga pendidikan dapat menjaga kesejahteraan mental semua anggotanya serta mencapai kinerja optimal. (*)