OPINI – Membaca bukan semata tindakan kognitif yang bersifat instrumental, melainkan suatu peristiwa eksistensial. Ia adalah upaya sadar manusia untuk menjangkau dunia di luar dirinya melalui simbol-simbol yang disusun dalam struktur bahasa. Dalam proses itu, membaca melibatkan kehadiran total subjek pembaca bukan hanya dalam aspek rasionalitas, melainkan juga dalam dimensi afektif dan spiritual.
Aktivitas membaca membuka ruang perjumpaan antara subjek dan subjek lain yang hadir dalam bentuk teks. Penulis, meskipun secara fisik tak hadir, menjelma menjadi mitra dialog yang menawarkan gagasan, pengalaman, dan horizon pemaknaan. Maka, membaca tidak bisa direduksi menjadi proses pasif menyerap informasi; ia merupakan bentuk dialog hermeneutik yang menuntut keterlibatan penuh dari pembaca.
Setiap buku memuat dunia pemikiran tertentu, yang merupakan hasil konstruksi historis, budaya, dan intelektual dari penulisnya. Ketika kita membaca, kita sebenarnya memasuki lanskap kesadaran orang lain yang berasal dari ruang dan waktu yang berbeda. Dalam hal ini, membaca mengatasi batas-batas temporalitas dan geografis; ia memungkinkan pertemuan lintas zaman dan lintas kebudayaan.
Dialog yang terjadi antara pembaca dan penulis tidak berlangsung dalam bentuk verbal, tetapi dalam keheningan yang sarat makna. Dalam keheningan inilah berlangsung proses interpretasi, negosiasi makna, dan pembentukan pemahaman baru. Kita tidak hanya menyerap isi, tetapi secara aktif membentuk dan membentuk ulang pengertian kita sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa membaca adalah aktivitas yang bersifat transformatif. Ia bukan sekadar proses reproduksi pengetahuan, melainkan mediasi bagi lahirnya pemahaman baru. Dalam terminologi Heideggerian, membaca adalah bentuk pembukaan (aletheia), di mana kebenaran tidak dihadirkan secara tunggal dan absolut, tetapi terbuka melalui pergulatan antara teks dan subjek pembaca.
Dengan demikian, membaca mengandung dimensi etis dan ontologis. Etis, karena ia menuntut keterbukaan terhadap alteritas—terhadap yang lain, yang berbeda, dan bahkan yang bertentangan. Ontologis, karena melalui aktivitas ini, pembaca turut mengalami transformasi dalam cara keberadaannya di dunia: cara berpikirnya, cara merasanya, dan cara ia memberi makna pada realitas.
Para pemikir besar sepanjang sejarah, dari Plato hingga Foucault, dari Confucius hingga Derrida, menyalurkan warisan pemikirannya melalui teks. Dalam membaca karya-karya mereka, kita tidak hanya mengakses isi pemikiran, tetapi juga turut mengalami horizon dunia yang melahirkan pemikiran tersebut. Di sinilah letak kekuatan membaca: ia memungkinkan kita menjelajahi sejarah ide-ide dan dinamika kesadaran manusia.
Aktivitas membaca juga melibatkan kerja reflektif. Ia melatih daya kritis, kemampuan berpikir abstrak, serta kepekaan intelektual terhadap kompleksitas dan ambiguitas. Buku-buku besar tidak memberikan jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan. Ia menuntut pembaca untuk tidak hanya mengerti, tetapi juga untuk mempertanyakan, menimbang, dan menyusun ulang pemahamannya.
Dalam kerangka pembentukan subjek, membaca menjadi salah satu praksis yang membentuk identitas intelektual dan moral seseorang. Ia bukan hanya memperluas pengetahuan, tetapi membentuk habitus berpikir. Oleh karena itu, pembaca yang tekun lambat laun mengalami perubahan dalam struktur kesadarannya—ia tumbuh menjadi subjek yang lebih reflektif, lebih terbuka, dan lebih bijaksana dalam memaknai hidup.
Maka, membaca bukan sekadar aktivitas akademik atau hobi pribadi. Ia adalah bentuk praksis kultural yang berkontribusi pada pembentukan peradaban. Dalam diamnya, ia bekerja membentuk struktur berpikir masyarakat; dalam sunyinya, ia menjadi landasan bagi diskursus, etika, dan kebijakan. Dan dalam proses itulah, manusia menjadi bukan hanya makhluk yang tahu, tetapi makhluk yang mampu memahami dirinya sendiri, sesamanya, dan dunia yang melingkupinya.
Penulis: Zayn